Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nasir menilai kebijakan pemerintah mengatur majelis taklim tidak nyambung jika dikaitkan dengan radikalisme. "Kebijakan itu kalau dikaitkan dengan radikalisme itu memang berlebihan, tidak nyambung juga," jata Haedar di Gedung Dakwah Muhammadiyah, Jakarta, Rabu, 4 Desember 2018.
Haedar mengatakan, kebijakan itu juga bisa menimbulkan diskriminasi. Sebab, jika ada problem radikalisasi yang punya potensi intoleran, membenarkan kekerasan, ekstrem, maka muaranya jangan hanya satu institusi. "Kalau satu institusi yang ada di umat Islam apa lagi majelis taklim itu kan hidup, nanti kan asumsinya, 'oh berarti umat Islam itu menjadi sumber dari radikalisme'," ujarnya.
Menurut Haedar, jika kebijakan ini juga bisa kontraproduktif dengan demokrasi. Pasalnya, dengan pemerintah ikut campur urusan majelis taklim berpotensi ada pembatasan. Padahal, majelis taklim menjalankan kegiatan sosial keislaman yang hidup di akar rumput.
Karena itu, Haedar menyarankan agar pemerintah membiarkan majelis taklim menjadi kekuatan dinamis untuk menghidupkan keberagamaan yang positif, keberagamaan yang menciptakan damai, toleran, dan memberi rahmat bagi lingkungan.
Kalau ada hal-hal yang bersifat ekstrem dan intoleran, kata Haedar, sebaiknya jangan dibawa ke dimensi keberagamaan atau umat islam. Tetapi menjadi bagian dari ranah hukum dan ketertiban sosial. "Jadi saya pikir ada hal yang kita berdemokrasi itu tidak harus lewat regulasi-regulasi aturan yang sifatnya praktis seperti itu. Tetapi harus menjadi tugas-tugas tertentu saja dari mendekatkan ketertiban sosial."
Menteri Agama Fachrul Razi sebelumnya menerbitkan Peraturan Menteri Agama Nomor 29 Tahun 2019 tentang Majelis Taklim. Peraturan diterbitkan pada 13 November 2019.
Wakil Presiden Ma'ruf Amin menjelaskan tujuan Kementerian Agama mengharuskan majelis taklim terdaftar adalah untuk mendeteksi radikalisme.
"Untuk data saya kira perlu supaya ada majelis taklim, jangan sampai ada majelis yang menjadi sumber persoalan, tahu-tahu mengembangkan radikalisme," kata Ma'ruf di Hotel Kempinski, Jakarta, Senin, 2 Desember 2019.
Ma'ruf mengatakan majelis taklim hanya perlu melapor kepada Kementerian Agama mengenai keberadaan mereka. Ia juga menegaskan bahwa aturan itu hanya untuk mendata majelis ilmu agama yang ada di Indonesia. "Kan sekarang semua harus terdata. Tamu saja harus didata," ujarnya.
FRISKI RIANA
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini