Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Yogyakarta - Penerima Nobel Perdamaian tahun 1996, Jose Ramos Horta akan berbicara tentang Islam Indonesia di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Jumat, 25 Januari 2019.
Baca: Ramos Horta Sebut Berita Mesti Menginspirasi Pembaca Berbuat Baik
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Mantan pejuang kemerdekaan Timor Leste itu didapuk sebagai pembicara kunci dalam acara seminar internasional bertajuk Islam Indonesia di Pentas Global: Inspirasi Damai Nusantara untuk Dunia di Balai Senat kampus tersebut. Kepala Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian Universitas Gadjah Mada (PSKP UGM) Najib Azca mengatakan Ramos Horta akan bicara refleksi dan testimoni tentang Islam Indonesia sebagai strategi dan kekuatan perdamaian di tingkat regional dan global.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Kedatangan Ramos Horta merupakan hasil kerja keras dan lobi para petinggi UGM, termasuk Paripurna P. Sugarda, Danang Sri Hadmono dan Andi Arsana. "Juga atas kerja sama yang baik dan bantuan tang keras dari Dubes RI di Dili," kata Najib Azca ketika dihubungi, Kamis, 24 Januari 2019.
Kehadiran mantan Perdana Menteri dan Presiden Timor Leste itu, kata Najib, akan menambah bobot dan makna seminar. Selain Ramos Horta, seminar mendatangkan Ahmad Syafii Maarif, Yahya Cholil Staquf, Azyumardi Azra, Mark Woodward, dan Wakil Menteri Luar Negeri Indonesia, Abdurrahman Mohammad Fachir.
Baca juga: Ramos Horta Yakin Konflik Laut Cina Selatan Bisa Didamaikan
Pada Desember 1996, Jose Ramos Horta berbagi Penghargaan Perdamaian Nobel dengan rekan senegaranya, Uskup Carlos Filipe Ximenes Belo. Komite Nobel memilih kedua penerima ini karena usaha keras mereka mencegah penindasan terhadap rakyat Timor Leste dengan harapan bahwa penghargaan itu mendorong usaha-usaha penyelesaian konflik di Timor Leste secara diplomatik berdasarkan hak rakyat untuk menentukan nasibnya sendiri. Komite Nobel Perdamaia menganggap Jose Ramos Horta sebagai juru bicara internasional terkemuka bagi perjuangan Timor Leste sejak 1975.
Laporan Komisi ahli Perserikatan Bangsa-bangsa menyimpulkan, tentara Indonesia bertanggung jawab atas pembunuhan, pembakaran, dan kejahatan kemanusiaan lainnya yang terjadi bekas provinsi ke-27 Indonesia itu. Rekomendasi lainnya adalah upaya mencari orang-orang hilang.
Indonesia dan Timor Leste sepakat menyelesaikan persoalan ini secara bilateral. Kedua pemerintah lantas membentuk Komisi Kebenaran dan Persahabatan. Salah satu rekomendasi komisi ialah membantu pemulihan para korban dan mencari orang-orang yang hilang pascakerusuhan.