Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
JAKARTA – Polemik status justice collaborator mantan Bendahara Partai Demokrat, Muhammad Nazaruddin, mendorong Dewan Perwakilan Rakyat melanjutkan pembahasan Rancangan Undang-Undang Pemasyarakatan. Anggota Komisi Hukum dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan, Arsul Sani, mengatakan polemik tersebut menunjukkan adanya persoalan dalam sistem peradilan pidana.
“Itulah kenapa pembahasan RUU Pemasyarakatan harus segera dilakukan. Supaya politik hukum kita ke depan jelas,” kata Arsul dalam rapat kerja bersama Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, kemarin.
Arsul membeberkan info bahwa ada tiga kotak utama dalam sistem peradilan pidana, yakni penyelidikan-penyidikan, penuntutan, dan pengadilan. Adapun kotak keempat, kata dia, adalah lembaga pemasyarakatan. Menurut Arsul, penyidik-penyelidik dan penuntut seharusnya tidak ikut campur dalam urusan lembaga pemasyarakatan.
Bila pun kotak lain ikut campur, ia menambahkan, yang boleh menangani hanya kotak pengadilan. “Jadi tidak ada kotak penyidik, penyelidik ikut campur terhadap kotak yang keempat,” ujar dia.
Wakil Ketua Komisi Hukum dari Fraksi Partai Golkar, Adies Kadir, mengatakan rapat kerja dengan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia pada 25 Februari lalu mendesak Kementerian untuk menindaklanjuti penyelesaian RUU Pemasyarakatan. Untuk itu, ia mengingatkan agar Menteri Hukum Yasonna Laoly kembali membahas RUU yang sudah masuk Program Legislasi Nasional ini.
RUU Pemasyarakatan adalah warisan dari Dewan periode 2014-2019. Draf aturan itu mendapat penolakan dari kelompok masyarakat sipil lantaran dianggap menguntungkan koruptor. Salah satu poin yang menjadi sorotan adalah hilangnya kewenangan KPK dalam merekomendasikan koruptor untuk mendapat remisi hukuman.
RUU itu kini masuk dalam Program Legislasi Prioritas 2020. Namun, sejak anggota periode baru mulai aktif bekerja di Parlemen, RUU Pemasyarakatan sama sekali belum dibahas. Polemik status Nazaruddin pun menjadi pemantik para anggota Dewan menagih komitmen pemerintah untuk melanjutkan pembahasan.
Status justice collaborator Nazaruddin dipersoalkan ketika ia mendapat program cuti menjelang bebas sejak 14 Juni. Pihak lembaga pemasyarakatan mengumumkan bahwa terpidana korupsi Wisma Atlet, gratifikasi, dan pencucian uang itu memperoleh remisi sebanyak 49 bulan lantaran statusnya sebagai justice collaborator. Belakangan, Komisi Pemberantasan Korupsi membantah memberi status justice collaborator kepada Nazaruddin.
Menteri Hukum Yasonna Laoly menyatakan setuju untuk mengatur lagi sistem pemidanaan. Menurut politikus PDIP ini, salah satu hal yang harus dibenahi adalah penggunaan kewenangan dari tiap penegak hukum. Yasonna menyebutkan, yang bisa membatasi hak seseorang hanya pengadilan dan undang-undang. Penetapan seseorang menjadi justice collaborator pun bukan kewenangan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan.
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Kurnia Ramadhana, menentang dilanjutkannya pembahasan RUU Pemasyarakatan. Menurut dia, RUU ini akan menurunkan derajat kejahatan korupsi menjadi tindak kriminal biasa. Alasannya, RUU Pemasyarakatan menghapus ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 yang mengatur syarat khusus bagi narapidana korupsi untuk mendapatkan remisi, asimilasi, maupun pembebasan bersyarat. “Pengetatan model seperti ini tidak terakomodasi,” ujar dia.
FIKRI ARIGI | MAYA AYU PUSPITASARI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo