Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Pakar Hukum Tata Negara Refly Harun mengatakan pernyataan ia mengenai hari lahir Pancasila pada 18 Agustus 1945 bukan bertendensi politik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Justru, dia berharap, Hari Lahir Pancasila jangan sampai disusupi agenda-agenda politik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Berbicara kebenaran sejarah, saya harap jangan dikaitkan dengan politik. Dulu waktu zaman Pak Harto dikaitkan dengan Supersemar, sekarang Hari Lahir Pancasila dengan Soekarno,” ujar Refly saat dihubungi Tempo pada Sabtu, 2 Juni 2018.
Di tahun politik, ujarnya, me-refer tokoh sentral menjadi kekuatan politik partai tertentu memang lumrah terjadi. Namun, ujarnya, hal tersebut tidak sehat untuk kehidupan berdemokrasi. “Kalau kita membawa sejarah seperti ini, akhirnya sejarah tidak pernah objektif. Sejarah hanya menjadi pengikut penguasa,” ujarnya.
Historis istilah Pancasila, ujar Refly, memang pertama kali dilontarkan Presiden Soekarno pada 1 Juni 1945 dalam sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia atau BPUPKI. Namun, menurut dia, Pancasila secara utuh sebagai dasar negara baru lahir pada 18 Agustus 1945 bertepatan dengan disahkannya UUD 1945 sebagai konstitusi negara. Pancasila lahir melalui berbagai dinamika dan hasil pemikiran tokoh-tokoh bangsa lainnya.
Sebagai bukti, kata dia, sebelum pengesahan UUD 1945 pada 18 Agustus 1945, sudah dirumuskan Piagam Jakarta pada 22 Juni 1945 yang isinya hampir sama dengan Pancasila yang ada saat ini. Hanya saja, sila pertama Piagam Jakarta berbunyi Ketuhanan, dengan menjalankan syari'at Islam bagi pemeluk-pemeluknya.
“Karena ada keberatan dari saudara kita di bagian timur, maka Moh. Hatta mengusulkan agar sila itu diganti menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa. Ini bukti bahwa ada dinamika, dan Pancasila adalah hasil rembuk pemikiran tokoh-tokoh bangsa. Bukan hanya satu orang saja,” ujar Refly.
Dengan penetapan Hari Lahir Pancasila pada 1 Juni, menurut dia, hal ini mendiskreditkan peran tokoh-tokoh bangsa lainnya yang juga bersumbangsih melahirkan Pancasila. “Kita tidak bisa menafikkan jika peran Soekarno sangat besar, namun Pancasila adalah hasil gotong-royong bersama tokoh bangsa lainnya. Istilah saya, Pancasila itu sinkretisme pikiran para pendiri bangsa,” ujar dia.
Peringatan Hari Lahir Pancasila pernah menjadi polemik di masa pemerintahan Presiden Soeharto. Pada tahun 1970, pemerintah Orde Baru melalui Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) melarang peringatan 1 Juni sebagai Hari Lahir Pancasila. Tanggal 1 Juni dianggap bukanlah Hari Lahir Pancasila sebagai dasar negara, tetapi Pancasila Bung Karno.
Setelah delapan tahun dilarang, peringatan Hari Lahir Pancasila kembali diperingati pada 1 Juni 1978. Sidang Dewan Politik dan Keamanan yang dipimpin oleh Menteri Koordinator Polkam, Jenderal M. Panggabean, pada medio Mei 1978 memutuskan hal itu.
Menteri Penerangan Ali Murtopo ketika itu menyampaikan, meski demikian 1 Juni bukanlah hari nasional. Kalaupun ada peringatan, kata dia, bukan berasal dari pemerintah atau negara. Bersamaan dengan itu, pemerintah Orde Baru menetapkan 1 Oktober sebagai Hari Kesaktian Pancasila. Alasannya, kata Ali Murtopo, peringatan ini mencakup banyak aspek, seperti sejarah, ketatanegaraan, ideologi, dan budaya. Ali Murtopo juga menyinggung peristiwa September 1965 yang dia sebut 'musibah komunis', sehingga 1 Oktober diperingati sebagai Hari Kesaktian Pancasila.