Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Yogyakarta - Hampir 100 orang difabel akan dilibatkan dalam operet inklusi yang digelar dalam acara Pekan Budaya Difabel pada Sabtu sampai Rabu, 16 - 20 November 2019. Operet inklusi yang mementaskan pertunjukan berjudul Jalan Menuju Cahaya akan dipertontonkan di akhir acara tahunan itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Sutradara Operet Inklusi, Broto Wijayanto mengatakan kecuali tunanetra, semua ragam disabilitas akan ambil bagian dalam operet tersebut. "Untuk difabel netra akan tampil khusus dalam salah satu acara di Pekan Difabel 2019," Broto Wijayanto dalam konferensi pers Pekan Budaya Difabel di Pendapa Dinas Kebudayaan DI Yogyakarta, Selasa, 12 November 2019.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Operet inklusi garapan Broto ini mengisahkan tentang pencarian kesempurnaan dari ketidaksempurnaan. Ada tokoh yang menuntut kesempurnaan atau perfeksionis dan ada tokoh yang mengisahkan ketidaksempurnaan. Ketika keduanya bertemu, mereka jadi saling melengkapi kehidupannya. Operet inklusi ini bakal dipentaskan pada sore dan malam hari dengan durasi masing-masing 2 jam.
Selain operet inklusi, sejumlah penyandang disabilitas akan menampilkan pertunjukan seni. Di antaranya kelompok tari Nalitari; Komunitas Yakatunis; juga seniman dari Malang, Arif yang dikenal dengan Arif One Leg Dance karena menari dengan satu kaki.
Ada pula Art Therapy Moekti alias mobil terapi. Mobil tersebut berkeliling ke setiap sekolah luar biasa. Bentuk terapi keliling ini berupa seni rupa. "Medianya tak hanya kanvas. Bisa botol atau media lainnya," kata Broto.
Yang unik dari terapi tersebut, pendampingnya adalah sejumlah mahasiswa seni yang belum memahami tentang disabilitas. Bukan mahasiswa yang berlatar belakang pendidikan luar biasa (PLB). Kedatangan mereka, menurut Broto, akan membuat anak-anak berkebutuhan khusus gembira. "Malah ketika kami pulang, anak-anak jadi ingin ikut," kenang Broto.
Kegiatan lain yang baru pertama dilakukan dalam Pekan Budaya Difabel adalah peluncuran buku berjudul Turning Point alias Titik Balik. Buku tersebut diluncurkan dalam seminar bertema Pekan Budaya Difabel Menciptakan Titik Balik Menuju Budaya Inklusi. "Buku itu berisi tulisan dari berbagai sudut pandang tujuh penulis dengan latar belakang berbeda," kata Rani dari Dinas Kebudayaan DI Yogyakarta.
Para penulis buku itu antara lain berasal dari akademikus, aktivis difabel, dan jurnalis. Buku tersebut bertujuan menggali pengalaman difabel, pemerhati difabel, maupun aktivis difabel agar menjadi penggugah semangat, mempertajam kepekaan solidaritas, dan kepedulian terhadap difabel. Dalam seminar tersebut juga akan diputar film tentang difabel karya Ucu Agustin.
Sekretaris Dinas Kebudayaan DI Yogyakarta, Erlina Hidayati Sumardi mengatakan Pekan Budaya Difabel ini bukan pertama kali digelar di Yogyakarta. "Sebelumnya kegiatan ini bernama Jambore Difabel yang digelar setahun sekali," ucap dia. Jambore Difabel sudah dilaksanakan sejak 2016 hingga 2018, dan tahun ini diberi nama Pekan Budaya Difabel.