Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Film yang menceritakan tentang difabel banyak diproduksi oleh sineas Tanah Air. Beberapa di antara film itu ditayangkan dalam Festival Film Dokumenter yang berlangsung di Taman Budaya Yogyakarta pada 1 - 7 Desember 2019.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Film tentang difabel yang diputar dalam festival itu adalah Alun karya Riani Singgih, Menjadi Agung (Yovista Ahthajida), Aisyah (Ahmad Syafi’i Nur Illahi), Saling (Ridho Fisabilillah), Menjadi Teman (Aji Kusuma), Bulu Mata Kaki (Firman Fajar Wiguna), Apa di Kata Nadakanlah (Gracia Tobing), dan Indra Kaki (Ihsan Achdiat).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Film Alun menceritakan tentang Isro, penari tuli di Jakarta yang mengajarkan tari kepada anak-anak. Sang sutradara, Riani mengatakan tak mudah menggarap film Alun. Dia mulai dengan berusaha memahami dunia Isro, penari tuli dalam film tersebut.
Riani juga belajar bahasa isyarat untuk pemula agar dapat berkomunikasi langsung dengan Isro. Usahanya untuk belajar bahasa isyarat dimaknai sebagai upaya untuk mencapai inklusivitas. "Pendekatan inklusivitas itu membuat Isto menjadi lebih terbuka," kata Riani.
Adapun film Bulu Mata Kaki menceritakan tentang sosok Kuswati, perempuan penyandang disabilitas (tanpa tangan) yang bekerja sebagai buruh pembuat bulu mata. Pekerjaan 'ngidep' ini menjadi mata pencarian sebagian besar masyarakat, terutama perempuan di Purbalingga, Jawa Tengah. Upah mereka begitu murah yang jauh dari kebutuhan hidup Kuswati.
Film Aisyah menggambarkan minimnya akses pendidikan untuk penyandang disabilitas. Aisyah adalah siswi tunarungu sebuah Sekolah Luar Biasa atau SLB di Sumbawa. Gadis 16 tahun ini berminat di bidang seni tari dan berjuang mengembangkannya melalui jalur pendidikan.
Perwakilan dari organisasi Sasana Inklusi dan Gerakan Advokasi Difabel (SIGAB), Muhammad Ismail mengatakan film Aisyah menggambarkan pemerintah yang kurang berperan dalam memenuhi akses pendidikan untuk penyandang disabilitas. Di Sumbawa, menurut dia, hanya ada satu sekolah menengah pertama yang inklusif.
Kondisi ini berbeda dengan sekolah inklusif di Pulau Jawa. Jarak sekolah juga jauh dari jangkauan penyandang disabilitas. "Dari film itu, saya berharap pemerintah terketuk dan memberikan perhatian," kata Muhammad Ismail yang seorang tuli.
Sutradara film Menjadi Teman, Aji Kusuma mengatakan penggarapan film itu membuatnya berusaha menjadi inklusif. Dia harus melakukan pendekatan agar dapat berinteraksi dengan seorang anak penyandang disabilitas, Atika Zahra. Atika adalah siswa difabel kelas V Madrasah Ibtidaiyah (MI) inklusi Keji, Ungaran Barats.
Aji Kusuma baru bisa mengobrol dengan Atika ketika keluar dari kelas. Dia juga menggunakan teknologi virtual realty dengan memotret realitas atau jauh dari rekayasa. Aji melakukan riset, menaruh kamera di sekitar subjek film, dan menjaga jarak dengan subjeknya.
Selain menyampaikan pesan penyandang disabilitas belum memiliki akses yang setara, film Menjadi Teman juga menyinggung tentang beragam stigma yang dialami penyandang disabilitas. Misalnya bagaimana masyarakat memandang difabel sebagai orang yang tak berguna dan menakutkan atau mengerikan. Penghinaan, perisakan, dan stigma menjadi penghalang inklusivitas.
Teman difabel turut menikmati film yang menceritakan tentang penyandang disabilitas ini. Seorang tuli, Vani memahami film melalui gambar dari kacamata virtual reality dan ketukan nada yang disalurkan melalui kabel-kabel sensor di dalam sarung tangan yang dikenakannya.
Dari alat sensor itulah Vani terhubung dengan apa yang dia lihat di layar kacamata. "Pengalaman yang menyenangkan, saya mengikuti irama musik," kata Vani melalui penerjemahnya. Vani menari dan menikmati film selama 7 menit. Melalui virtual realty, penonton dapat merasakan pengalaman nyata dengan dimensi hingga 360 derajat dan seolah bersama penyandang disabilitas di lokasi itu.
Mentor film yang juga perwakilan dari organisasi Sasana Inklusi dan Gerakan Advokasi Difabel (SIGAB), Ajiwan Arief mengatakan penyandang disabilitas ingin dilihat sebagai orang yang wajar dan berinteraksi secara wajar dengan non-difabel. Itulah yang mendasari film yang ditampilkan itu tersaji secara wajar. "Menempatkan difabel sebagai subjek dan kesehariannya secara wajar alias tidak lebay," kata Ajiwan.