Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Instrumen HAM Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Timbul Sinaga mengatakan kendala dalam proses ratifikasi Konvensi Internasional Untuk Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan Paksa. Menurut dia proses harmonisasi naskah akademik Rancangan Undang-Undang Konvensi Anti Penghilangan Paksa sebetulnya telah rampung sejak tahun lalu.
Permohonan agar Presiden Joko Widodo menerbitkan surat presiden (surpres) atas penyusunan RUU tersebut pun telah dikirimkan ke Kementerian Sekretariat Negara pada 9 Desember 2021. Harapannya, surpres bisa terbit pada 10 Desember, bertepatan dengan Hari HAM Internasional. Namun, surpres tak kunjung terbit.
Usut punya usut, kata Timbul, Kementerian Sekretariat Negara belum menyerahkan surat permohonan tersebut kepada presiden karena ada masalah administrasi yang belum selesai. "Jadi mekanisme untuk surpres itu, naskah RUU itu harus diparaf dulu oleh empat menteri terkait," ujar Timbul dalam sebuah diskusi yang diselenggarakan oleh International NGO Forum on Indonesian Development (INFID), Jumat, 25 Februari 2022.
Pada Januari 2022, Kementerian Sekretariat Negara lantas bersurat kepada empat menteri terkait untuk memohon paraf atas naskah RUU Konvensi Anti Penghilangan Paksa. Adapun empat menteri tersebut adalah Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud Md; Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly; Menteri Pertahanan Prabowo Subianto dan Menteri Luar Negeri Retno L. Marsudi.
Hingga saat ini, ujar Timbul, tiga menteri sudah meneken naskah RUU. "Tinggal menunggu paraf dari Menteri Pertahanan. Dua minggu lalu kami sudah rapat via zoom dengan pihak Kemhan, pada prinsipnya sudah tidak ada masalah. Barangkali hanya masalah waktu karena kesibukan Menhan," ujar dia.
Timbul berharap pada awal Maret ini Menhan Prabowo Subianto sudah meneken RUU tersebut, sehingga surpres bisa terbit untuk diajukan ke DPR agar kemudian dilakukan pembahasan. "Jadi kami berharap sekali Pak Menhan segera memparaf RUU ini," tuturnya.
Indonesia telah menandatangani konvensi Internasional tentang Anti Penghilangan Paksa sejak 2010 silam. Namun, sampai saat ini pemerintah belum juga meratifikasi konvensi tersebut. Konvensi ini dibutuhkan untuk memberikan kepastian hukum kepada korban, serta sebagai upaya preventif dan korektif negara dalam menjamin perlindungan bagi semua orang dari penghilangan paksa.
Praktik penghilangan paksa yang terjadi di Indonesia, khususnya pada masa Orde Baru, di antaranya peristiwa 1965–1966, Timor–Timur 1975-1999, Tanjung Priok (Jakarta) 1984, Tragedi Talangsari (Lampung) 1989, Masa Operasi Militer (DOM) di Aceh dan Papua, Penembakan Misterius (Petrus) 1981-1985, dan Penculikan aktivis 1997-1998.
DEWI NURITA
Baca Juga: Konvensi Penghilangan Paksa Belum Diratifikasi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini