Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Mayjen TNI dokter Terawan Agus Putranto menunjukkan ruang praktik Digital Subtraction Angiography (DSA) atau metode cuci otak yang biasa dilakukannya. "Kami sangat terbuka, tidak ada tindakan yang ditutup-tutupi," kata Terawan kepada Ketua dan Anggota Komisi I DPR bersama empat wartawan di ruang praktiknya di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Subroto, Jakarta, Selasa, 4 April 2018.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Terawan mengatakan tindakan terhadap pasien bisa dilihat oleh keluarga melalui kaca transparan di samping ruangan. Menurut dia, di seluruh dunia, hanya tindakan DSA di RSPAD yang boleh ditonton.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Terawan menunjukkan ruangan itu setelah surat Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) beredar. Surat itu menyatakan Terawan melanggar kode etik kedokteran. Di pintu masuknya terdapat tulisan R. Tindakan DSA.
Praktik DSA di RSPAD, kata Terawan, lebih murah dari negara lain. Di University California of San Francisco, misalnya, biaya dokternya saja US$22 ribu atau Rp250 juta. "Di sini boro-boro, sangat murah.” Pasien hanya diminta mengganti peralatan dan sebagainya, sekitar Rp30 jutaan. “Dan itu sudah bisa menolong banyak orang."
Baca: Dokter Terawan Angkat Bicara Soal Surat ...
Ia membantah isu yang beredar mengenai RSPAD atau dirinya membuat tarif sendiri. Menurut Terawan, tarif ditentukan dari Kementerian Keuangan.
MKEK Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia memutuskan dokter Terawan Agus Putranto dikenai sanksi pemecatan sementara sebagai anggota IDI selama 12 bulan. Sekretaris MKEK PB IDI, Pukovisa Prawiroharjo mengatakan keputusan diambil setelah MKEK memproses laporan soal Dokter Terawan sejak beberapa tahun lalu. "Tapi sudah tahunan-lah untuk keseluruhan proses," kata dia saat dihubungi pada Rabu, 4 April 2018.
Menurut surat yang beredar tertanggal 23 Maret 2018 tersebut, MKEK menetapkan dokter Terawan melakukan pelanggaran etik serius dari kode etik kedokteran. Surat ditandatangani oleh Ketua MKEK PB IDI, Prijo Sidipratomo. Dalam surat itu, tidak tercantum tanda tangan Ketua Umum PB IDI.
Pukovisa enggan menyampaikan pelanggaran etik serius yang dimaksud Majelis Etik. Ia mengatakan bahwa hal itu masuk dalam materi mahkamah yang tidak bisa dibagikan kepada publik.
Namun Pukovisa memastikan keputusan itu dibuat secara otonom. "Pertimbangan keputusannya murni dari sisi etika perilaku profesi kedokteran berdasarkan Kode Etik Kedokteran Indonesia."