Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Pendidikan

UGM Dinilai Berutang Mencegah Kasus Kekerasan Seksual

UGM berutang mencegah kekerasan seksual agar kasus Agni tak terulang lagi.

11 Februari 2019 | 20.36 WIB

Ilustrasi Kita Agni, kasus pemerkosaan Mahasiswi UGM. shutterstock.com
Perbesar
Ilustrasi Kita Agni, kasus pemerkosaan Mahasiswi UGM. shutterstock.com

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

TEMPO.CO, Jakarta - Pengajar Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada atau UGM Yogyakarta, Sri Wiyanti Eddyono menyebut kampus tersebut berhutang mencegah kasus kekerasan seksual agar tidak terulang kembali. “Harus ada perbaikan sistem penanganan," kata Sri Wiyanti Eddyono kepada Tempo, Ahad, 10 Februari 2019.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hal itu ia ungkapkan setelah UGM melakukan rekonsiliasi antar-penyintas pelecehan seksual, Agni (bukan nama sebenarnya) dan terduga pelaku HS. Rekonsiliasi terjadi karena Agni dan HS menandatangani kesepakatan penyelesaian masalah. Rektor UGM, Panut Mulyono juga tanda tangan.

Sri Wiyanti menginformasikan rektorat telah membentuk Tim Penyusunan Kebijakan untuk Pencegahan dan Penanggulangan Keekerasan Seksual di UGM. Tim ini diharapkan dapat membangun sistem yg dibutuhkan dan responsif terhadap kasus kekerasan seksual.

Sri berpendapat kasus yang menimpa Agni merupakan kekerasan seksual dengan kategori pelanggaran berat. UGM terbilang lamban dan belum memiliki sistem penanganan kasus kekerasan seksual yang baik.

Penanganan kasus dugaan pelecehan seksual ini berjalan hampir satu setengah tahun dan melelahkan penyintas. Dia mengajak publik untuk menghormati pilihan penyintas yang memilih menandatangani kesepakatan itu. Penyintas memilihnya untuk meminimalisasi berbagai risiko.

Agni, kata Sri Wiyanti, perlu mendapatkan dukungan yang kuat dari publik, terutama untuk pemulihan. Ia berpendapat rekonsiliasi yang dilakukan UGM bukan pilihan terbaik tapi pilihan penyintas harus dihormati,” kata dia.

Rekomendasi Komite Etik muncul sebelum Panut Mulyono, rektor kampus setempat meneken surat kesepakatan antara Agni dan terduga pelaku yang merupakan mahasiswa Fakultas Teknik, Hardika Saputra. Rekomendasi inilah yang mempengaruhi keputusan rektor. UGM tak menyebut ada pelecehan seksual dalam kasus tersebut.

Putusan Komite Etik secara mayoritas menunjukkan adanya perbuatan asusila dalam kasus yang menimpa Agni selama menjalani Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Pulau Seram, Maluku pada Juli 2017. Tapi, Komite Etik tidak menyatakan perbuatan asusila tersebut sebagai pelecehan seksual.

Rektor UGM, Panut Mulyono menyebut UGM mendengarkan keinginan HS dan Agni. Panut menegaskan sangat berhati-hati karena perdamaian itu membutuhkan waktu yang cukup lama karena sangat sensitif. “Tidak ada paksaan. Tidak ada rekayasa,” kata Panut.

Panut mengatakan HS mengaku menyesal dan bersalah atas peristiwa tersebut. Selain itu, mahasiswa itu juga memohon maaf atas perkara terjadi pada bulan Juli 2017. “Bahwa saudara HS dan AN serta UGM menyatakan bahwa perkara ini sudah selesai,” kata Panut.

Dugaan kekerasan seksual yang menimpa Agni mencuat ke publik setelah adanya tulisan Badan Penerbitan Pers Mahasiswa (BPPM) Balairung UGM berjudul Nalar Pincang UGM atas Kasus Perkosaan. Tulisan itu mendapat perhatian Rektor UGM. UGM kemudian membentuk tim investigasi dan tim etik untuk menangani kasus tersebut.

Shinta Maharani

Lulus dari Jurusan Ilmu Hubungan Internasional UPN Yogyakarta. Menjadi Koresponden Tempo untuk wilayah Yogyakarta sejak 2014. Meminati isu gender, keberagaman, kelompok minoritas, dan hak asasi manusia

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus