Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Ramadan bukanlah tujuan, apalagi akhir perjalanan, tetapi justru menjadi proses yang terus berjalan. Dari Ramadan ke Ramadan kita selalu dituntut menggali hikmah dan menemukan makna didalamnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Bimbo, pelantun religi yang legendaris itu, menggambarkan sangat menarik tentang makna dibalik puasa Ramadhan. Dijelaskan, ada anak bertanya pada bapaknya, buat apa berlapar-lapar puasa? Katanya, lapar mengajarimu rendah hati selalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Pertanyaan itu memang sangat sederhana, bahkan dinilai terlalu kekanakkan. Namun, demikianlah kenyataanya, puasa memang lapar. Kita yang berada di Indonesia menahan lapar itu rata-rata selama 13 jam, sebenarnya juga belum seberapa dibanding mereka yang berpuasa di Eropa misalnya, dengan durasi antara 17 hingga 19 jam. Bahkan ada yang 22 jam.
Hikmah Lapar
Tapi, di situlah indahnya bulan Ramadhan yang secara khusus dirayakan dengan berpuasa. Dengan menahan rasa lapar justru ibadah ini menemukan makna tersendiri. Ada hikmah yang besar dibalik rasa lapar.
Tentang rasa lapar, atau kelaparan, Al-Quran menyebutkannya dengan jelas. Hal itu dapat kita baca dalam dua ayat berikut:
"Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu dengan sebagian ketakutan dan kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan berikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar." (QS.2:155).
Selain sebagai ujian, kelaparan pada sisi yang lain juga ditimpakan karena kekufuran. Yaitu, kepada penduduk Mekah yang dijamin aman sentosa tapi pada saat itu mereka mengingkari nikmat Allah SWT.
"Dan Allah telah membuat suatu perumpamaan, sebuah negeri yang dulu aman dan tenteram, rezekinya datang kepadanya melimpah ruah dari segenap tempat. Tetapi (penduduknya) mengingkari nikmat-nikmat Allah, lantaran itu Allah menimpakan kepada mereka 'pakaian' kelaparan dan ketakutan disebabkan apa yang selalu mereka perbuat." (QS.16:112).
Dari situlah kita mendapatkan pelajaran. Bahwa kesabaran haruslah menjadi sikap dasar dalam menghadapi segala cobaan. Demikian pula rasa syukur yang mesti digelorakan dalam setiap keadaan.
Pelajaran itu sangat penting dan sudah semestinya menjadi laku hidup keseharian kita. Tanpa kecuali kesabaran dalam menjalankan puasa, disertai rasa syukur yang mendalam, bahwa lapar yang kita rasakan tentu membawa hikmah mendalam.
Sufi besar Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali alt-Thusi as-Syafi'i atau yang populer dengan Imam Ghazali (w.1111 M) mencatat 10 hikmah, merupakan faedah lapar itu sendiri. Baik yang berkaitan dengan "pembersihan" hati, mendisiplinkan diri, manfaat untuk kesehatan, maupun menumbuhkan kepedulian.
Semua itu dijelaskan dengan gamblang sebagaimana dalam karya monumentalnya, Ihya Ulumuddin, yaitu: (1) Membersihkan hati dan menajamkan mata batin; (2) Melembutkan dan membersihkan hati sehingga mampu merasakan kelezatan berdzikir; (3) Meluluhkan dan merendahkan hati, juga menghilangkan kesombongan dan liarnya hawa nafsu;
(4) Mengingatkan pada ujian dan adzab Allah; (5) Mematikan keinginan untuk berbuat maksiat dan menguasai nafsu amarah; (6) Agar bisa mengurangi tidur dan membiasakan jaga; (7) Memudahkan menjalankan ibadah; (8) Menyehatkan tubuh dan menjauhkan penyakit;
(9) Untuk mengurangi mu'nah atau sifat konsumtif; (10) Dengan membiasakan lapar atau mengurangi makan, maka peluang untuk bersedekah, memberikan kelebihan harta kepada yang lemah akan semakin mudah.
Proses Detoksifikasi
Khusus yang berkaitan dengan masalah kesehatan misalnya, apa yang dijelaskan Imam Ghazali sembilan abad yang lalu itu, menemukan kebenarannya dalam penelitian kedokteran modern saat ini. Terutama penelian tentang manfaat puasa bagi pembersihan tubuh dari tumpukan racun, serta proses penyembuhan secara alami.
Proses yang kemudian dikenal dengan istilah detoktifikasi itu, dalam satu bulan pelaksanaan puasa, bisa diketahui melalui tahapan-tahapan berikut:
Pada 1-2 hari ketika lapar dirasakan sangat intens, maka kadar gula, tekanan darah, dan denyut jantung juga akan menurun. Di sini, tubuh akan mulai menggunakan cadangan gula yang tersimpan di hati dan otot untuk menghasilkan energi.
Pada 3-7 hari, tubuh mulai menggunakan lemak sebagai sumber energi. Tiadanya asupan makanan yang masuk ke dalam tubuh, maka sistem pencernaan pun bisa beristirahat.
Pada 8-15 hari, tubuh sudah bisa melakukan detoksifikasi secara efisien, sehingga memungkinkan terjadinya penyembuhan secara alami. Pada tahap ini, tubuh sudah tidak merasa lemas lagi. Sebaliknya, akan lebih enerjik.
Pada 16-30 hari, tubuh sudah berhasil melakukan adaptasi dengan keadaan puasa. Pada tahap ini, konsentrasi dan daya ingat akan meningkat, emosi juga lebih stabil. Maka ketika proses detoksifikasi selesai, tubuh bisa bekerja lebih maksimal dalam mengganti jaringan yang rusak.
Olah Jiwa
Lapar, karena menahan makan dan minum, memang hanya soal fisik jasmaniah. Manfaat untuk kesehatan sudah tak diragukan. Hikmahnya juga luar biasa. Inilah yang menjadi bagian terpenting, justru berkaitan dengan aspek ruhaniah. Saya menyebutnya sebagai "olah jiwa." Bahwa dalam makna yang luas, amalan puasa tak lain untuk memperbaiki kondisi batin. Karena sejatinya laku hidup yang tampak (haliyah) merupakan pancaran dari keadaan batin yang tersembunyi (ahwal).
Dalam konteks itulah, puasa yang secara fiqh didefinisikan dengan menahan diri dari makan, minum, dan hubungan intim (seksual) itu, sejatinya menjadi kontrol atas dorongan hawa nafsu yang secara naluriah memang tak terelakkan.
Hawa nafsu, oleh Imam Ghazali, secara khusus disebut pula dengan syahwat. Dijelaskan, ada dua jenis yaitu syahwat seks dan syahwat perut. Tentu, yang terakhir ini juga tak sekadar soal makan dan minum, tapi lebih luas lagi adalah soal sikap dan perilaku konsumtif atau pemborosan, hanya untuk kesenangan dan kepentingan fisik belaka.
Bagaimana jadinya jika syahwat tak dikendalikan dengan tepat? Tentu, tak hanya kerusakan diri pribadi tapi juga tatanan kemasyarakatan. Di sinilah olah jiwa melalui puasa menemukan maknanya sebagai mekanisme pengendalian diri, tak lain agar dapat mencapai keseimbangan hidup, lahir dan batin.
Semoga puasa kita diterima Allah Swt, dapat membersihkan hati dan membentuk sikap batin, sehingga laku keseharian kita menjadi lebih santun dan berbudaya.
Kalisuren, 21 April 2021
Idham Cholid
Ketua Umum Jayanusa; Pembina Gerakan Towel Indonesia