TEMPO.CO, Jakarta - Pemerintah akan tetap memprioritaskan penerbitan surat utang dalam bentuk Surat Berharga Negara (SBN) domestik sebagai salah satu sumber pembiayaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) jangka menengah tahun 2019-2022. "Penerbitan SBN domestik pada kisaran 70–75 persen dari total penerbitan SBN," seperti dikutip dari dokumen Nota Keuangan dan Rancangan APBN 2019, Kamis, 23 Agustus 2018.
Baca: Bukan Cina, Ini Negara Pemberi Utang Terbesar ke RI
Selain itu pemerintah untuk tenor jangka menengah hingga jangka panjang akan mempertahankan ketersediaan penerbitan SPN 3 bulan dan 6 bulan serta 1 tahun. Pemerintah juga akan menerbitkan SBN valas sebagai pelengkap dalam denominasi hard currency untuk membantu memenuhi kebutuhan cadangan devisa negara.
Hal-hal tersebut dilakukan pemerintah dengan sebelumnya mempertimbangkan kondisi perekonomian di tahun 2018 yang cukup volatile dan berpotensi mengulang krisis tahun 2008-2009. Kondisi krisis dimaksud yaitu depresiasi nilai tukar hingga 35 persen dari nilai tukar rata-rata tahun 2018 dan kenaikan imbal hasil hingga maksimum 109 persen dari imbal hasil rata-rata di tahun 2018.
Lelang Surat Utang Negara Diprediksi Sepi Peminat
Dengan kemungkinan syok perekonomian tersebut, pemerintah memproyeksikan risiko utang akan bergerak dalam tiga kisaran berikut.
1. Risiko nilai tukar semakin menurun yang ditunjukkan oleh rasio utang valas terhadap total utang sebesar 39 persen pada tahun 2019 menjadi 35 persen pada tahun 2022 dengan. Adapun kisaran fluktuasi kurs berkisar plus minus 6 persen untuk mengakomodasi syok tersebut.
2. Risiko tingkat bunga semakin terkendali dengan rasio tingkat bunga mengambang terhadap total utang yang dijaga berada pada kisaran minimum 90 persen pada periode tahun 2019 hingga 2022. Adapun kisaran perubahan tingkat bunga berkisar plus minus 1,5 persen untuk mengakomodasi syok itu.
3. Risiko pembiayaan kembali yang terkendali dengan rasio utang yang jatuh tempo dalam jangka pendek (1 tahun) terhadap total utang sebesar 8,5 persen di tahun 2019 menuju 10 persen di tahun 2022 dengan kisaran plus minus 1 persen. Sementara average time to maturity sebesar 8,5 tahun di tahun 2019 menuju 8 tahun di tahun 2022 dengan kisaran plus minus 0,5 tahun untuk mengakomodasi syok tersebut.
Pemerintah juga memperhatikan indikator risiko utang yang berkaitan dengan kesinambungan fiskal akan ikut terpengaruh oleh fluktuasi nilai tukar rupiah dan tingkat imbal hasil. Dalam hitungan proyeksi pemerintah, rasio utang terhadap PDB diperkirakan sebesar 29,5-31 persen pada periode tahun 2019 hingga 2022 dengan potensi pergerakan di kisaran plus minus 5 persen untuk mengakomodasi syok.