TEMPO.CO, Jakarta - Warga yang tinggal di sekitar klinik aborsi di Jalan Percetakan Negara, Jakarta Pusat, memperkirakan bahwa pasien yang mendatangi klinik itu setiap harinya bisa mencapai puluhan orang. “Banyak yang datang. Kelihatannya bisa puluhan pasien per hari ujar Ella, salah seorang warga kepada Tempo di Jalan Percetakan Negara, Jakarta Pusat, Kamis, 24 September 2020.
Puncak hari ramai klinik itu biasanya Sabtu, jumlah pasien jauh lebih banyak dibandingkan hari-hari lain. “Kalau hari Sabtu, itu paling banyak (pasien).”
Ella mengaku bisa tahu apakah seseorang pasien klinik itu atau bukan. Pasien-pasien itu, kata dia, biasanya memarkir mobilnya di sekitar lokasi klinik seperti di toko swalayan, sebelum berjalan beberapa puluh meter menuju klinik.
Setiap hari, di luar hari Ahad dan hari besar, klinik itu mulai buka sekitar pukul 07.00 WIB dan tutup sebelum pukul 15.00 WIB.
Sebelumnya, dalam konferensi pers pada hari Rabu, 23 September 2020 lalu, Kepala Bidang Humas Polri Komisaris Besar Yusri Yunus mengatakan bahwa klinik aborsi yang digerebek polisi pada Rabu, 9 September lalu itu telah menggugurkan sebanyak 32.760 janin hanya dalam waktu tiga tahun terhitung sejak 2017. Klinik menangani pasien 5-6 orang per hari.
Dalam kurun tiga tahun itu, jumlah keuntungan yang diraup klinik ilegal itu ditengarai mencapai Rp 10 miliar.
Polisi telah meringkus 10 orang yang diduga terlibat dalam praktik aborsi di klinik di Jalan Percetakan Negara itu. Selain LA, 52 tahun, pemilik klinik, polisi juga menangkap DK, tersangka pelaku penindakan aborsi yang berusia 30 tahun, serta beberapa karyawan pembantu lainnya, yaitu NA (30), MM (38), YA (51), RA (52), LL (50), ED (28), SM (62), dan RS (25).
Dedi, warga Jalan Percetakan Negara, mengatakan bahwa meskipun banyak pasien yang datang, orang-orang di klinik itu cenderung tertutup, sehingga ia pun tak pernah berinteraksi dengan pemilik maupun karyawan di sana. Namun, ia mendapati ada perubahan janggal yang terjadi pada klinik itu.
Seingat Dedi, sekitar 2012, ia melihat ada papan tanda yang bertuliskan “dokter kandungan”, sehingga ia pun menduga itu klinik kesehatan biasa. Namun, sekitar lima tahun lalu, kata Dedi, papan tulisan itu hilang, sedangkan praktik tampak tetap berjalan, sehingga ia pun sempat bertanya-tanya. “Saya mulai gak tahu apa ini legal,” ujar pria 75 tahun itu.
Saryumi, warga yang berjualan makanan tak jauh dari klinik, mengatakan dokter yang bekerja di klinik itu sudah beberapa kali ganti. Dulu ada dokter yang tua, 60 tahunan, terus ganti dokter yang muda.”
Sepengetahuannya, dokter yang muda itu meninggal, lalu dokter yang tua sempat balik lagi. “Sekarang dokternya baru lagi, masih muda.”
Yusri mengatakan, DK belum dokter. Ia sarjana kedokteran yang sempat menjalani koas, tapi tak selesai karena mendapat tawaran bekerja di klinik itu.
ACHMAD HAMUDI ASSEGAF | ENDRI KURNIAWATI