TEMPO.CO, Jakarta - Tidak semua di Pemerintah Hong Kong mendukung perubahan sistem elektoral yang disahkan Parlemen Cina. Dikutip dari Channel News Asia, penasihat Pemerintah Hong Kong, Bernard Chan, menganggapnya sebagai langkah mundur terhadap upaya mengembalikan demokrasi.
"Jelas sekali 23 tahun terakhir kita tidak bekerja dengan baik untuk menunjukkan kepada Pemerintahan Pusat (Cina) bahwa reformasi politik akan membantu prinsip 'satu negara, dua sistem'," ujar Chan, Kamis, 11 Maret 2021.
Diberitakan sebelumnya, Parlemen Cina mengesahkan perubahan sistem elektoral Hong Kong pada kongres politik hari ini. Tujuan perubahan tersebut adalah memastikan pos-pos pemerintahan di Hong Kong hanya akan diisi oleh mereka yang loyal terhadap Cina. Cina menyebutnya sebagai Patriot.
Perubahan itu meliputi berbagai sisi. Beberapa di antaranya mulai dari ukuran dan komposisi Parlemen Hong Kong hingga fungsi Komite Penyelenggara Pemilu. Adapun komite itu akan dilengkapi dengan mekanisme baru untuk menyeleksi kandidat serta tingkah laku pemenang pemilu untuk memastikan mereka loyalis Cina.
Ukuran Komite Penyelenggara Pemilu, misalnya, akan diperbesar dari 1200 menjadi 1500. Sementara itu, kursi di legislatif ditambah dari 70 menjadi 90 kursi.
Saat ini, 50 persen dari 70 kursi di Parlemen Hong Kong dipilih melalui sistem pemilihan langsung. Biasanya, politisi pro-demokrasi memiliki capaian yang lebih baik dibanding loyalis Beijing. Hal itu didukung prinsip hak pilih universal (Universal Suffrage) yang memunkinkan warga untuk menentukan sendiri siapa wakilnya di pemerintahan.
Dengan perubahan yang baru, maka porsi wakil rakyat yang bisa dipilih langsung bakal berkurang. Dengan kata lain, jumlah loyalis Cina akan kian besar. Adapun loyalis-loyalis itu bisa dari berbagai sektor mulai dari industri, serikat pekerja, atau professional.
Pengunjuk rasa anti UU Keamanan Nasional Hong Kong berdemo pada hari peringatan penyerahan Hong Kong dari Inggris ke Cina, 1 Juli 2020. Ketika ribuan demonstran berkumpul di pusat kota untuk berdemonstrasi tahunan yang menandai hari peringatan penyerahan bekas jajahan Inggris ke Cina di 1997, polisi anti huru hara menggunakan semprotan merica untuk melakukan penangkapan, sementara toko-toko dan satu stasiun metro tutup. [REUTERS / Tyrone Siu]
Bernard Chan melanjutkan, apa yang seharusnya terjadi adalah Cina memastikan Hong Kong memiliki independensinya ketika prinsip "satu negara, dua sistem" diberlakukan. Hal tersebut, kata ia, adalah janji Cina ketika Hong Kong terbebas dari kolonialisme Inggris tahun 1997. Chan menyayangkan bahwa apa yang terjadi sekarang adalah sebaliknya.
Cina, sebelumnya, memang relatif lebih ramah terhadap Hong Kong. Meski ada oposisi berkembang, mereka tidak melakukan intervensi dalam skala besar. Hal itu berubah saat Cina hendak menerapkan regulasi ekstradisi baru yang dianggap aktivis pro-demokrasi sebagai sinyal hilangnya independensi Hong Kong. Sejak itu, demonstrasi anti-pemerintah rutin terjadi.
Puncaknya, pada kongres politik tahun lalu, Cina memberlakukan UU Keamanan Nasional Hong Kong. Mereka mengklaimnya sebagai regulasi untuk melindungi konstitusi Hong Kong, namun realitanya digunakan untuk membungkam oposisi.
Juru bicara Parlemen Cina, Wang Chen, menyatakan Beijing tidak ingin situasi di Hong Kong kian buruk. Ia berkata, Pemerintah Cina ingin pemerintahan Hong Kong benar-benar diisi oleh Patriot yang tidak hanya loyal terhadap Cina, tetapi juga cinta terhadap Hong Kong.
"Kekacauan di Hong Kong beberapa tahun terakhir bukti adanya lubang dan cacat dalam sistem elektoralnya. Hal itu memberi ruang kepada kelompok Anti-Cina masuk ke Hong Kong," klaim Wang Chen.
Secara terpisah, Menteri Luar Negeri Inggris Dominic Raab menyebut kebijakan baru itu akan memperburuk citra Cina di mata internasional. "Ini adalah langkah baru Cina untuk menyingkirkan perdebatan demokrasi di Hong Kong," ujar Raab.
Baca juga: Parlemen Cina Sahkan Perubahan Sistem Elektoral Hong Kong
ISTMAN MP | CHANNEL NEWS ASIA