Iklan
TEMPO Interaktif, Jakarta:Ketua Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Siswono Yudhohusodo mengritik keras kebijakan impor beras karena telah menyebabkan nasib petani terpuruk lantaran harga gabah jatuh. Ia mendesak pemerintah menghentikan impor bahan pangan pokok tersebut karena cadangan saat ini bisa untuk memenuhi kebutuhan pangan dua tahun. Kritikan dan desakan itu dilontarkan Siswono dalam diskusi yang digelar Monopoli Watch Jakarta, Senin (26/8). Ia menyatakan mayoritas warga Indonesia mengkonsumsi beras. Bahkan angka konsumsi tiap orang paling tinggi di dunia, yakni 133 kilogram tiap tahun. “Artinya, pasar pangan di Indonesia sangat potensial karena kebutuhan sangat tinggi. Tapi petani justru tidak bisa berkembang dengan baik lantaran Bulog hanya membeli 6 persen dari seluruh produksi dalam negeri,” ujar Siswono. Kondisi ini, jelas dia, kian diperparah dengan impor beras yang melebihi takaran. Akibat dari kebijakan itu, harga gabah dari petani jatuh. “Bahkan, praktek membeli beras oleh Bulog adalah oplosan, dimana beras impor dalam jumlah terbanyak dan dicampur beras lokal,” ujar dia. Siswono mencatat sejak 1998 harga dasar gabah selalu di bawah harga pasar. Pendapatan petani, tambahnya, di bawah upah minum regional untuk buruh pabrik. “Pemerintah sebaiknya menghentikan impor beras. Saat ini saja, butuh dua tahun untuk menghabiskan stok beras yang dibeli pemerintah dari luar negeri,” ujar dia. Siswono juga mengusulkan menaikkan bea masuk beras sebesar 60 persen, pengawasan pun dilakukan ketat, sedang harga dasar gabah dinaikkan Rp 1.800 per kilogram. Selain itu, pembongkaran barang impor sebaiknya dilakukan di daerah yang kekurangan. Ia setuju langkah Gubernur Jawa Timur Imam Utomo yang menolak impor beras karena kelebihan produksi di daerahnya. Dia juga mengritik pencabutan subsidi pemerintah terhadap petani. Kebijakan ini ditarik berkaitan rendahnya kualitas beras sehingga tidak kompetitif di pasaran. “Bahkan jika ada kenaikan harga beras sedikit saja, pemerintah langsung operasi pasar,” ujarnya. Selain itu, petani juga berhadapan dengan semakin berkurangnya lahan garapan. Di kawasan Jawa saja, petani gurem yang memiliki lahan dibawah 0,2 hektare, ditaksir mencapai 10.937.000 orang. “Pemerintah justru membiarkan petani miskin di negara yang agraris,” kata Siswono. (Imas Nurhayati – Tempo News Room)
Iklan
