Salah satu di antara patung itu adalah karya Anusapati berjudul Shelter for the Goodhearted, yang tampak sebagai sebuah obyek patung non-figuratif sehingga kelihatan berbeda dengan patung-patung lain yang terpampang di ruang yang sama.
Anusapati membuat obyek yang tingginya kurang lebih satu meter dari bahan kayu yang menyerupai sebuah rumah dengan tingkat kemiringan tertentu, sehingga tampak seperti ilusi dan refleksi tentang konsep keseimbangan (balance). Ini sebuah karya menarik karena mampu keluar dari konvensi patung-patung yang selama ini ada, baik dalam hal media maupun bentuk.
Dan nyatanya, sepanjang perkembangan seni kontemporer di Indonesia, belum banyak pematung yang mampu melahirkan karya-karya yang melampaui konvensi patung semacam karya Anusapati ini. Dan inilah salah satu cermin yang terefleksi dari pameran bertajuk "The Spirit of Interaction" yang berlangsung hingga 14 Februari 2009.
Konsep kuratorial pameran ini dikerjakan oleh pematung senior, Dolorosa Sinaga. Gagasan dasarnya, ia mengajak setiap pematung yang terlibat dalam pameran ini untuk merespons ruang galeri dan halaman serta taman belakang gedung Erasmus Huis. Dengan cara demikian, pematung didorong untuk melakukan interaksi, baik dengan ruang maupun dengan medium yang ia gunakan untuk bekerja.
Di ruang dalam galeri Erasmus Huis, terpajang beberapa karya yang cukup segar dan menarik. Karya Abdi Setiawan, perupa lulusan jurusan patung Fakultas Seni Murni Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, misalnya, menjadi salah satu karya yang mampu membawa pengunjung tertawa.
Ia menampilkan Rakyat+biasa, sepasang patung manusia kayu bergaya realis yang sedang bercakap dengan akrab: seorang rakyat biasa dan sesosok polisi. Si polisi menanyakan "Ada apa, kok wajahmu lebam?" Si Orang biasa menjawab. "Gak tau lah, Pak. Tadi saya cuma lewat dan kemudian dituduh maling."
Di ujung lain dari ruangan tersebut, pengunjung bisa menyaksikan karya Titarubi, Vagina Brokat yang pernah menjadi bagian dari film Opera Jawa karya Garin Nugroho. Karya ini berupa sebuah kerucut besar yang menyerupai kelambu berbahan brokat, yang dikelilingi patung manusia setengah badan. Patung-patung itu pun ditutup Tita dengan brokat aneka warna.
Di sebelahnya, karya dengan material sama, merupakan sebentuk apropriasi dari karya legendaris Michael Angelo, David. Karya Titarubi berjudul Surrounding David ini adalah interpretasi terhadap konstruksi tentang maskulinitas dan femininitas yang terepresentasi dalam sejarah seni modern. Versi asli dari karya ini, dengan tinggi mencapai sembilan meter, dipamerkan di National Museum of Singapore sejak Mei hingga September 2008 lalu.
Karya-karya yang terpajang di halaman belakang gedung ini sesungguhnya mempunyai potensi besar untuk "menabrak" konvensi patung modern. Karya Awan Simatupang, Vertical, misalnya, menunjukkan sebuah pendekatan menarik yang jauh dari kesan monumental yang biasanya kita rasakan ketika berhadapan dengan patung. Karya itu terdiri dari sembilan kotak berukuran kecil, kurang lebih 40x40 sentimeter, yang dipasang menelusuri jalanan taman. Uniknya, tiap-tiap kotak menyerupai sebuah lahan di perkotaan, dikelilingi rumput di sekitarnya. Gedung-gedung disimbolkan dengan batang kayu tipis yang dipasang meninggi.
Lalu, Hardiman Radjab, seperti biasa, masih suntuk mengolah koper-koper tua. Ia meletakkan beberapa koper yang "bisa bernapas" di bangku-bangku taman. Karya berjudul Long Journey itu merefleksikan sebuah jeda yang selalu kita butuhkan dalam sebuah perjalanan, apalagi perjalanan yang panjang. Koper yang selalu menjadi teman dalam petualangan dan memasukkan cerita-cerita menjadi bagian dari memorabilia.
Dibandingkan dengan karya-karya lain dalam pameran ini, Hardiman berhasil menciptakan suasana sunyi dan puitis, yang membuat patung terasa berbicara kepada para pengunjung. Karya Hardiman yang lain terasa lebih mengandung humor: ia membuat beberapa koper tua itu menjadi serupa dengan potongan roti bolu. Sebuah ide yang sederhana tapi jenial.
Beberapa karya lain masih menggunakan pendekatan lama yang biasa ditemukan pada patung-patung modern. Mereka mengolah bahan-bahan berat seperti perunggu atau logam dengan cara yang konvensional sehingga tidak menunjukkan upaya untuk melampaui perunggu sebagai medium.
Bentuk-bentuk yang diolah pun cenderung "itu-itu" saja: figur manusia atau tubuh-tubuh yang mengalami distorsi, model realisme baru, dan semacamnya. Sayang, di antara pemilihan material dan pengolahan bentuk tersebut, tidak tampak keinginan melakukan pendalaman terhadap gagasan yang mendasari lahirnya karya tersebut.
Hasil interaksi yang menjadi basis gagasan kuratorial kemudian memang menghasilkan karya beragam. Keragaman tersebut, di satu sisi, menunjukkan beberapa pendekatan berbeda dalam perkembangan seni patung di Indonesia. Namun pada sisi lain, karena ruang interpretasi bagi seniman terlalu besar, maka karya-karya yang dipamerkan terasa "tidak nyambung" satu sama lain.
Atau, dengan kata lain, kesenjangan kemampuan satu seniman dengan seniman lain, terutama dalam merefleksikan sejarah seni patung dan kemampuan mempertajam gagasan itu sendiri, terlalu kelihatan.
ALIA SWASTIKA, pengamat seni rupa