TEMPO Interaktif, Jakarta - Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan mendesak pemerintah membatalkan 154 peraturan daerah yang dianggap diskriminatif. Peraturan itu antara lain mengatur pemberantasan pelacuran, kewajiban menggunakan busana muslim, serta pemberlakuan jam malam bagi perempuan.
Peraturan-peraturan daerah itu dinilai bertentangan dengan Undang-undang Dasar yang melindungi hak kebebasan setiap warga negara. "Kalau tidak dihapus, perda serupa menjadi tumbuh subur di daerah lain," kata Ninik Rahayu, Komisioner Komnas Perempuan dalam jumpa pers di kantornya, Jumat (29/1).
Komisi telah mengajukan pembatalan peraturan daerah kepada presiden, Kementerian Dalam Negeri, dan Kementerian Hukum dan HAM sejak Juni tahun lalu, namun hingga sekarang tidak ada respons. Pembatalan oleh Kementerian Dalam Negeri terbatas pada peraturan daerah pajak dan retribusi saja.
Akibatnya, daerah-daerah lainnya justru meniru ikut membuat peraturan daerah yang diskriminatif. Setidaknya terdapat 15 daerah lain membuat peraturan serupa. Sepanjang 2009 lalu tercatat 29 daerah membuat peraturan daerah baru. Otonomi daerah memberikan kewenangan daerah membuat peraturan sendiri, tapi banyak yang bertentangan Konstitusi.
Menurut Komnas, beberapa daerah yang memiliki peraturan diskriminatif antara lain Nanggroe Aceh Darussalam, Banten, Gorontalo, Jawa Tengah, Jawa Timur, Lampung, Kalimantan Selatan, dan Sumatera Utara.
Daerah-daerah itu antara lain memberlakukan aturan kepada seluruh umat muslim menggunakan baju berjilbab dan membatasi jam malam bagi perempuan. Perempuan tidak boleh keluar malam lewat dari pukul 21.00 Wib selain dengan muhrimnya.
Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan, memberikan sanksi bagi perempuan yang melanggar. Pegawai Negeri Sipil yang ketahuan tidak berjilbab dipermalukan dalam upacara hari Senin. "Ini luar biasa, bertentangan dengan Konstitusi yang melindungi kebebasan menjalankan agama," tegas Ninik.
Peraturan daerah semacam itu semakin tumbuh subur karena adanya preseden peraturan diskriminatif tidak dibatalkan oleh pemerintah. "Nuansa pembuatan perda diskriminatif makin subur," kata Kunthi Tridewiyanti, salah seorang komisioner lainnya.
Ia mencontohkan, penerapan hukum jinayat di Aceh, maupun aturan kewajiban menggunakan jilbab di Bangkalan jelas bertentangan dengan Konstitusi.
Aqida Swamurti