TEMPO Interaktif, Bandung--Budayawan Ajip Rosidi menerima gelar Doktor Honoris Causa bidang Ilmu Budaya dari Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran, Senin (31/1) pagi. Penganugerahan gelar doktor kehormatan di aula Universitas Padjadjaran, Jalan Dipati Ukur, Bandung, menjadi kado ulang tahun bagi lelaki kelahiran Jatiwangi, Majalengka, Jawa Barat, 73 tahun silam itu.
Tim promotor mengajukan pemberian gelar itu karena gagasan, semangat, ketekunan, dan keajekan sikap ilmiah Ajip Rosidi dalam karya-karyanya selama ini. "Karya-karyanya telah memberikan kontribusi yang sangat berarti bagi masa depan kehidupan bangsa," kata Dadang Suganda, salah seorang promotor, dalam pidato pertanggungjawaban akademik penganugerahan gelar Doktor Honoris Causa hari ini. Dua promotor lainnya adalah Ganjar Kurnia dan Cece Sobarna.
Ajip Rosidi mulai terjun ke dunia sastra sejak usia 14 tahun. Pendidikan formal hanya dia tempuh hingga sekolah menengah pertama di Jakarta pada 1953. Tak tamat sekolah menengah atas, Ajip belajar secara otodidak. Karya sastranya mulai muncul di sejumlah majalah seperti Mimbar Indonesia dan Zenith sejak 1952, saat dia masih duduk di bangku SMP. Sampai 1983, Ajip tercatat menulis lebih dari 300 judul sajak dan cerita pendek di berbagai majalah.
Buku pertama Ajip, berjudul 'Tahun-tahun Kematian', berisi kumpulan cerita pendek. Buku itu terbit pada 1955, ketika Ajip berusia 17 tahun. Ayah enam anak itu juga aktif di berbagai organisasi, serta aktif menghidupkan sastra Sunda lewat penghargaan Hadiah Rancage sejak 1989.
Ajip mengaku sempat menolak beberapa kali tawaran gelar doktor honoris causa itu. Usianya yang sudah lanjut dan terbiasa hidup tanpa gelar menjadi alasan penolakan itu. Karena terus didesak, ia akhirnya mau menerima dengan berbagai syarat. "Antaranya agar pidato ini disampaikan dalam bahasa Sunda," ujar Ajip.
Ajip berharap cara dia akan membukakan jalan bagi orang lain yang hendak menyampaikan pidato ilmiah di depan forum universitas dalam bahasa ibunya. "Hal itu menjadi bukti bahwa bahasa ibu juga bisa jadi bahasa ilmu," kata Ajip.
Orasi Ajip berjudul 'Urang Sunda di Lingkungan Indonesia'. Pidato itu berisi kritik dan penilaian Ajip tentang mentalitas dan perilaku orang Sunda. Dia, misalnya, menyinggung sedikitnya orang Sunda yang tampil di pentas nasional, padahal jumlah suku Sunda menempati urutan kedua di negeri ini.
ANWAR SISWADI