TEMPO Interaktif, Jakarta - Kutu loncat. Julukan itu sepertinya layak dialamatkan kepada Dharmawan (bukan nama sebenarnya), 25 tahun. Setelah menempati posisi sebagai account manager selama dua tahun di bank pemerintah, alumnus Universitas Indonesia ini pindah ke bank swasta. “Saya diajak, dan tidak munafik gaji menjadi salah satu alasan pindah,” kata Dharmawan kepada Tempo, Kamis lalu.
Baru enam bulan bekerja, tawaran kembali datang. Kali ini dari bank asing, dengan skema gaji dan fasilitas lebih menggiurkan. Ia tak berpikir panjang untuk kembali pindah kerja. Mulai 26 September (besok), dia akan berpindah kantor dari Sudirman ke kawasan Kuningan. “Ini kesempatan saya berkarier di level internasional,” kata Dharmawan, yang masih lajang.
Konsultan manajemen Iskandar Setionegoro menyatakan kepindahan seorang karyawan adalah hal biasa. Alasan yang kerap mengemuka menyangkut faktor maintenance, seperti kebijakan atasan yang tidak jelas dan berubah-ubah, tak punya leadership yang bagus, lingkungan kerja yang kurang kondusif, atau buruknya hubungan di antara sesama rekan kerja. Ada juga karena faktor motivating, seperti sistem penjenjangan karier atau gaji yang kurang baik, tak ada kesempatan yang menantang, serta minimnya apresiasi.
“Kalau karyawan bekerja dengan baik dianggap memang seharusnya begitu. Tapi, ketika melakukan kesalahan, dapat punishment,” ujar Iskandar kepada Tempo, Senin lalu.
Survei WorkAsia pada 2007/2008 yang dilakukan konsultan SDM Watson Wyatt di 11 negara Asia-Pasifik, termasuk Indonesia, mengungkapkan mayoritas karyawan di Indonesia rendah tingkat kepuasannya terhadap kompensasi dan benefit yang mereka terima dari perusahaan (51 persen).
Baca Juga:
Para pegawai juga belum puas terhadap pola komunikasi dengan manajemen, sehingga menjadi alasan untuk pindah kerja. Survei itu juga menunjukkan bahwa adanya kesempatan karier yang lebih baik merupakan alasan tertinggi karyawan pindah kerja.
Meski banyak kasus pengunduran diri lebih banyak disebabkan oleh motivasi personal, sebagaimana kasus Dharmawan, tidak jarang pengunduran diri dilakukan oleh karyawan akibat berbagai kombinasi faktor penyebab buruknya maintenance dan motivating. Kalau faktor-faktor itu terakumulasi tanpa ada perbaikan dalam manajemen perusahaan, Iskandar mengungkapkan karyawan lama-lama tidak akan tahan juga. Jika kasusnya hanya terjadi pada satu-dua karyawan, bisa jadi itu lantaran alasan yang lebih personal.
“Tapi jika pengunduran diri dilakukan karyawan dalam jumlah yang banyak dalam waktu bersamaan, tentu ada sesuatu yang salah dalam perusahaan tersebut. Ini mengindikasikan adanya ketidakpuasan kerja yang dialami banyak karyawan,” ujar Iskandar, principle consultant pada perusahaan konsultan manajemen IM Consulting.
Situasi eksodus makin dipercepat jika karyawan dibajak perusahaan lain. Menurut Iskandar, fenomena ini terjadi pada situasi ketika bisnis tumbuh, tapi pengembangan SDM tidak tumbuh. “Akibatnya, yang terjadi adalah bajak-membajak dengan iming-iming rupiah yang tinggi,” ujar dia.
Kepindahan karyawan akibat pembajakan ini susah dihindari apalagi untuk karyawan yang motivasinya uang. Namun bukan berarti perusahaan tidak bisa mencegah tanpa berbuat apa-apa.
Iskandar menjelaskan pembajakan karyawan bisa dicegah dengan menerapkan sistem yang terbuka terkait dengan jenjang karier. Sistem penilaian dan jenjang karier yang terbuka bisa membuat karyawan merasa pasti dalam meniti karier. Penciptaan hubungan kerja yang nyaman juga bisa mencegah karyawan untuk pindah mesti sudah dibajak.
Hal lain yang bisa dilakukan terhadap kemungkinan pembajakan karyawan adalah menerapkan second man policy. Tujuannya agar manajemen tidak panik ketika terjadi pembajakan besar-besaran karena penggantinya sudah jelas. Beberapa perusahaan, menurut Iskandar, biasa menjadikan momen pembajakan untuk konsolidasi. “Juga memberi penghargaan khusus bagi karyawan yang loyal serta punya kinerja yang baik.”
AMIRULLAH