TEMPO.CO, Jakarta - Konsorsium Pembaruan Agraria mendesak pemerintah segera melaksanakan reformasi agraria karena konflik agraria kian marak di Indonesia tahun ini. Terakhir, konflik yang menyangkut tanah terjadi di Bima, Nusa Tenggara Barat, dan mengakibatkan jatuhnya korban jiwa.
“Konflik terjadi karena ketimpangan penguasaan dan pengelolaan sumber-sumber agraria,” kata Sekretaris Jenderal Konsorsium Idham Arsyad melalui siaran pers, Senin, 26 Desember 2011. Dia mencatat, sepanjang 2011, ada 163 konflik agraria yang terjadi di Indonesia dan menelan korban jiwa.
Peristiwa konflik pertanahan terjadi di Rokan Hulu,Riau; Sei Minyak-Sumatera Utara; Senyerang,Jambi, Wlingi Jawa Timur; Bulukumba, Sulawesi Selatan, Labuhan Batu, Sumatera Utara; Tiaka-Sulawesi Tengah, Sumber Klampok, Bali, Mesuji, Lampung, Pulau Padang, Riau; dan Bima, NTB.
Idham menyatakan petani dan warga tak bertanah telah tercerabut dari alat produksinya. Kondisi ini diperparah dengan keberpihakan aparat terhadap kepentingan pemilik modal dalam menjaga asetnya. Akibatnya, petani harus menerima ketidakadilan dan tewas di tangan aparat dan preman-preman perusahaan. “Tindakan polisi yang menembak warga jelas tidak dapat dibenarkan,” kata dia.
Idham menilai sistem politik agraria menyebabkan penguasaan tanah dan sumber daya alam berada di tangan penguasa dan pemilik modal. Pemerintah memakai kekuasaannya untuk mengeluarkan hak baru dan izin usaha pertambangan, perkebunan, kehutanan, dan kawasan industri. “Ini mengakibatkan hilangnya akses petani terhadap tanah.”
Berdasarkan data yang dia miliki, ada lebih 25 juta hektare hutan yang dikuasai HPH, lebih 8 juta hektare dikuasai HTI, dan 12 juta hektare dikuasai perkebunan besar sawit. Di sisi lain, hampir 85 persen petani di Indonesia merupakan petani tanpa tanah dan lahan sempit. Kondisi ini melahirkan dan menyuburkan konflik agraria.
Idham mendesak pemerintah segera melaksanakan reformasi agraria sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 dan TAP MPR Nomor IX/2011 dengan membentuk Badan Percepatan Pelaksanaan Reforma Agraria. Badan ini dipimpin oleh Presiden dengan partisipasi masyarakat sipil. “Kami juga mendesak dibentuk Komite Nasional untuk Penyelesaian Kasus-kasus Agraria (KNuPKA) untuk menyelesaikan konflik,” ujarnya.
KPA berharap pemerintah mencabut izin usaha di berbagai sektor yang menghilangkan akses petani terhadap tanahnya. Tak kalah penting, pemerintah harus mengevaluasi kebijakan di sektor perkebunan, pertambangan, dan kehutanan. Evaluasi ini penting untuk menghindari tumpang tindihnya kepentingan dalam pengelolaan sumber-sumber agraria.
I WAYAN AGUS PURNOMO