TEMPO.CO, Jakarta - Perusahaan Air Minum (PAM) Jaya diduga telah melakukan korupsi dalam pengelolaan air bersih di Jakarta sebesar Rp 561 miliar. Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) ini disebut telah bersama-sama dengan dua mitra swasta, PT PAM Lyonnaise Jaya (PALYJA) dan PT Aetra Air Jakarta (Aetra), diduga melakukan penyimpangan yang menyebabkan kerugian negara.
"Kerugian negara diperkirakan mencapai Rp 561 miliar," kata Agus Sunaryanto, aktivis Indonesia Corruption Watch (ICW), Selasa, 31 Januari 2012, di kantor Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Agus mengatakan praktek penyimpangan terjadi pada saat proses rebasing. Proses ini adalah penetapan harga air atau imbalan antara PAM JAYA beserta mitranya serta target teknis. Rapat digelar setiap lima tahun sekali.
ICW bersama Koalisi Masyarakat Menolak Swastanisasi Air (KRuHa) menemukan adanya pelonggaran target, sehingga menguntungkan pihak swasta. Seperti pengurangan target volume air yang terjual dan tingkat kebocoran. Volume untuk air terjual dikurangi. Adapun untuk persentase tingkat kebocoran dinaikkan. "Akibat penyimpangan dalam proses rebasing tersebut diduga telah menyebabkan terjadinya kerugian negara," ujar Agus.
Dugaan korupsi tersebut telah dilaporkan oleh ICW dan KRuHa ke KPK, siang tadi. Mereka meminta KPK agar mengusut kasus itu dan menelusuri harta kekayaan para pejabat yang diduga terlibat. "Kami menduga ada pejabat menerima keuntungan dari kebijakan itu," kata Agus.
Koordinator KRuHa, Reza, mengatakan kejanggalan lainnya adalah penetapan tarif air yang relatif tinggi sebesar Rp 7.800 per meter kubik. "Harusnya hanya Rp 4.000 per meter kubik," kata Reza. Tarif ini sangat tinggi, kata Reza, karena diterapkan kebijakan pembebanan biaya penuh kepada pelanggan atau full recovery.
Pelayanan air bersih di Ibu Kota sudah dikelola swasta sejak 13 tahun lalu. Saat ini sedang dilakukan rebasing yang kedua kalinya. Reza menduga pada rebasing ini akan kembali dimanfaatkan sekelompok orang untuk meraup keuntungan.
Di samping dugaan korupsi itu, ICW dan KRuHa juga menemukan beberapa kejanggalan. Mereka menemukan ada biaya expatriate yang tidak berkaitan tapi dibebankan kepada PT Palyja yang mencapai Rp 3,86 miliar.
Pemerincian dugaan korupsi keperluan ekspatriat itu antara lain untuk biaya sekolah anak sebesar Rp 1,2 miliar, klaim biaya Rp 366 juta, biaya fiskal dan pajak bandara untuk perjalanan pribadi Rp 79 juta, biaya perjalanan Rp 119 juta, serta biaya sewa rumah dan asuransi banjir Rp 2,08 miliar. "Biaya-biaya ini seharusnya tidak dimasukkan," kata Reza.
RUSMAN PARAQBUEQ