TEMPO.CO, Makassar - Autis atau autisme adalah salah satu jenis penyakit yang biasa menyerang anak sejak masih balita. Autisme bisa membuat takut para orang tua karena belum ada metode pengobatan yang bisa menyembuhkan penyakit itu secara total. Bahkan penyebab munculnya pun masih membingungkan.
Autisme merupakan gangguan pada perkembangan neurobiologi anak yang berat, sehingga menimbulkan masalah pada sistem komunikasi anak tersebut. Penyandang autisme tidak dapat berkomunikasi dengan baik dan tak dapat berinteraksi dengan lingkungannya.
Biasanya tanda-tanda seorang anak menderita autisme mulai terlihat sebelum anak berumur 3 tahun. Penyandang autisme pada umumnya tidak memiliki kemampuan dalam hal fisik, kognitif, mental, pancaindra, emosional, dan perkembangan ataupun kombinasi dari hal-hal tersebut.
Liza Anwar Sutadi, salah seorang konsultan autisme pada anak, menganjurkan para orang tua agar segera memeriksakan anak ke dokter jika melihat adanya gejala penyakit ini. Karena autisme tidak bisa disembuhkan total, intervensi atau Biomedical Intervention perlu segera dilakukan untuk mengurangi dampak dari penyakit ini. “Begitu hari ini didiagnosis autisme, hari ini juga lakukan intervensi,” kata Liza.
Menurut Liza, intervensi ini bertujuan untuk memperbaiki berbagai permasalahan neurobiologi yang terdapat pada seseorang, termasuk pada penyandang autisme. Jika intervensi tidak segera dilakukan ketika gejala didiagnosis, penyakit ini akan terus berlanjut dan efeknya tidak bisa dikurangi hingga penderita dewasa.
Baca Juga:
Salah satu cara yang bisa dilakukan untuk intervensi terhadap anak-anak penderita autisme adalah dengan melakukan diet bahan makanan yang mengandung gula karena dapat semakin memperlambat perkembangan anak dengan autistik. “Pada umumnya penyandang autisme harus diet bahan makanan yang manis, kecuali gula yang berasal dari buah-buahan segar,” Liza menuturkan. Selain itu, bahan makanan lain yang harus dihindari adalah susu, keju, gula, dan tepung terigu.
Penyandang autisme memiliki sistem metabolisme yang berbeda serta kadar gula darah yang mengalami lonjakan naik-turun sewaktu-waktu. Karena sistem metabolisme yang tidak sempurna, sisa-sisa gula dalam pencernaan tidak terserap dengan sempurna, sehingga bisa menjadi pupuk bagi jamur, yang jika tumbuh berlebihan bisa merusak dinding usus.
Sementara itu, pada tepung terigu, terdapat zat perekat yang dapat menempati reseptor opioid di otak dan menyebabkan efek kuat pada perilaku, sama halnya dengan heroin atau morfin. Zat ini menyebabkan berbagai masalah, seperti mengantuk, tidak memiliki perhatian atau bengong, serta memiliki perilaku yang agresif. Zat ini juga mengakibatkan ketagihan dan ketidaktersediaannya dapat menyebabkan penderita melakukan perilaku buruk.
Liza juga menganjurkan agar diet ini dilakukan secara berkelanjutan.
“Jika melanggar diet dalam sehari saja, sama saja pasien tidak melakukan diet sama sekali,” katanya.
Selain diet, salah satu hal yang dapat dilakukan untuk meningkatkan perkembangan kemampuan otak anak adalah melakukan terapi. Liza menganjurkan agar proses terapi dilakukan selama 40 jam dalam seminggu di samping tetap menjalankan diet.
Untuk menghindari kebosanan selama proses terapi, biasanya dilakukan dengan menghadirkan permainan-permainan yang bisa membuat anak-anak belajar dengan ceria.
Hingga kini, belum diketahui penyebab terjadinya autisme. Namun diduga kuat salah satu faktor penyebabnya adalah gen, dan biasanya mulai terdeteksi sejak 6 bulan di dalam kandungan.
ANISWATI SYAHRIR