TEMPO.CO, Jakarta - Film Pengkhianatan G30S/PKI adalah salah satu karya Arifin C. Noer yang paling kontraversial. Film ini disebut-sebut sebagai upaya pembelokan sejarah demi kekuasaan dan hegemoni massal melalui media. Peristiwa pembunuhan para jenderal dan petinggi Angkatan Darat secara sadis dan tidak berperikemanusiaan terekam dalam film ini. Film itu juga menggambarkan detail bagaimana para jenderal disiksa, disayat-sayat, dan alat kelaminnya dipotong.
Film ini menjadi film wajib tonton pada era pemerintahan Presiden Soeharto. Tumbangnya pemerintahan Soeharto membuat banyak pihak mempertanyakan kebenaran sejarah, termasuk yang digambarkan dalam film ini. Lantaran dianggap sebagai propaganda Orde Baru, Menteri Penerangan pada 1998, Yunus Yosfiah, kemudian melarang pemutarannya.
Tentu, tak mudah melupakan begitu saja film yang diwajibkan pemerintah untuk ditonton sepanjang masa Orde Baru itu. Apalagi, film ini pernah meraih penghargaan Piala Citra pada 1984. Bagaimana sineas mengingat film ini?
Bagi Hanung Bramantyo, sutradara film, bagian yang paling diingat dalam film ini adalah adegan diskusi. "Shot big close-up mulut-mulut sedang diskusi atau menghisap rokok, sangat menohok. Bayangkan saja, di layar besar semua gelap. Hanya mulut yang tampak. It's brilliant," ujarnya kepada Tempo, Kamis, 27 September 2012.
Menurut Hanung, terlepas film itu disebut propaganda, secara sinematik film Pengkhianatan G30S/PKI rapi, detail, dan nyata. "Saya sempat mengira itu bukan film. Tapi real!"
Lain lagi di mata sutradara film Monty Tiwa. Adegan yang teringat adalah kala putri D.I. Pandjaitan histeris saat ayahnya ditembak. Kemudian, ia mencoreng dengan darah sang ayah. "Karena (efel) dramatis yang tinggi dan shot yang belum pernah saya lihat dalam film Indonesia. Membuat campuran emosi, ngeri, sedih, marah nyampur jadi satu," kata Monty kepada Tempo, Jumat, 28 September 2012.
Sebagai sebuah karya seni, film Pengkhianatan G30S/PKI menuai banyak pujian, namun sekaligus kebenaran ceritanya dipertanyakan.
Pada 1984, Arifin C. Noer meraih penghargaan Piala Citra untuk skenario terbaik film ini. Di perhelatan yang sama, Arifin juga masuk unggulan untuk kategori penyutradaraan film terbaik.
Amoroso Katamsi menjadi kandidat pemeran utama pria terbaik. Yang juga kecipratan adalah Embie C. Noer yang diunggulkan dalam kategori tata musik terbaik, Hasan Basri untuk kategori tata kamera terbaik, dan Farraz Effendy yang masuk nominasi kategori tata artistik terbaik. Meski akhirnya, hanya Arifin yang berhasil menggondol pulang Piala Citra sebagai penulis skenario terbaik.
Pada 1985, masih di Festival Film Indonesia, film Pengkhianatan G30S/PKI mendapat penghargaan Piala Antemas untuk kategori film unggulan terlaris 1984-1985.
NIEKE INDRIETTA
Berita Terkini:
Komentar Soeharto Usai Lihat Film G 30 S
Film Pengkhianatan G 30 S/PKI, Dicerca dan Dipuji
Sosok 'Dalang' G30S PKI
Kekuatan Film Pengkhianatan G 30 S/PKI Luar Biasa