TEMPO.CO, Depok - Kemiskinan selalu membuat orang tidak berdaya. Itulah yang menimpa pasangan Herman Hidayat, 25 tahun, dan Prefti, 23 tahun, warga Kramat Jaya RT 3 RW 12, Kelurahan Beji, Kecamatan Beji, Kota Depok. Keduanya kehilangan putri pertamanya, Zara Naven, yang berumur tiga bulan karena kekurangan biaya operasi pada Selasa, 19 Februari 2013. "Biaya operasinya Rp 200 juta. Saya tidak ada uang untuk menutupi kekurangan," kata Prefti, di rumahnya, Rabu, 20 Februari 2013.
Nyawa Zara tidak tertolong karena operasi jantung yang dijadwalkan terus ditunda. Zara adalah peserta Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda) Kota Depok. Dalam plafon Jamkesda, setiap peserta hanya dijamin biaya perawatannya Rp 100 juta. Namun, biaya operasi Zara melejit hingga Rp 200 juta.
Menghadapi biaya operasi yang melebihi plafon, Herman sempat mengurus pengajuan biaya operasi ke Kementerian Kesehatan. Namun, belum selesai prosesnya, anak mereka sudah terlebih dulu meninggal.
Menurut Prefti, mulanya anak mereka tidak memiliki masalah kesehatan saat baru lahir. Namun, setelah dibawa ke rumah, nafas Zara terlihat berat. Karena menganggap hanya terkena penyakit biasa, mereka membawa Zara ke tukang urut. Namun, napas Zara tak kunjung normal sampai akhirnya dibawa ke Puskesmas Beji, Depok.
Perjalanan Zara untuk sembuh ternyata tidak mudah. Nenek Zara, Anah, 43 tahun, mengatakan saat dibawa ke Puskesmas Beji, cucunya telah berusia 40 hari. Puskesmas kemudian mengarahkan agar Zahra dirujuk ke RSUD Kota Depok. Namun, karena keterbatasan alat, RSUD lalu merujuk kembali Zara ke Rumah Sakit Harapan Kita, Jakarta.
Hasil diagnosa dokter di RS Harapan Kita menyatakan Zara mengidap kelainan jantung bawaan. Akhirnya, sejak sejak 15 Januari 2013, Zahra dirawat di ruang ICU karena tetap mengalami gangguan pernapasan. Selama 40 hari Zara dirawat di ICU rumah sakit itu, dia tak kunjung sembuh. Di lain pihak, biaya pengobatan selama itu telah menghabiskan plafon Jamkesda Rp 60 juta.
Dokter di RS Harapan Kita, menurut Anah, sebenarnya mengharuskan Zara untuk dioperasi. Namun, sisa plafon Jamkesda tidak mencukupi untuk biaya operasi yang mencapai Rp 200 juta itu. Menurut Anah, dokter sampai tiga kali menjadwalkan operasi Zara. "Tapi rumah sakit belum izinkan karena tidak ada jaminan. Sampai akhirnya Zara meninggal," kata Anah.
Menurut Herman, dia dan istrinya sudah maksimal mengupayakan kesembuhan Zara. Herman bahkan menjual motor untuk ongkos dan biaya makan selama Zara dirawat di rumah sakit. Sebab, sejak Zara dirawat di rumah sakit, Herman nyaris tidak bekerja karena sibuk mengurus surat-surat untuk biaya pengobatan.
Menurut Herman, dia berulang kali mendapatkan sikap petugas rumah sakit tersebut yang seolah mempersulit dia dan keluarganya. Ada saja yang kurang, dari mulai urusan surat menyurat, sampai obat yang harus ditebus sendiri tanpa Jamkesda. "Alasannya, Jamkesda tidak menanggung obat-obatan tersebut. Akhirnya beli pakai uang sendiri," kata dia. RS Harapan Kita belum dikonfirmasi terkait kasus Zara.
Menanggapi masalah itu, Wali Kota Nur Mahmudi Ismail membenarkan plafon Jamkesda Rp 100 juta per warga memang sudah sesuai dengan peraturan daerah. Menurut Nur Mahmudi, masalah seperti ini dilematis karena belum bisa mengambil kebijakan khusus untuk pasien seperti Zara. “Tidak memiliki payung hukumnya. Kalau ada payung hukum yang bisa digunakan untuk kasus-kasus tertentu, baru bisa dinaikkan."
Namun, menurut Nur Mahmudi, warga yang mengalami kasus seperti Zara bisa mengajukan surat permohonan Ke Kementerian Kesehatan melalui Dinas Kesehatan Kota Depok dan diteruskan oleh Wali Kota. "Secara spontan bisa saya tanda tangan," katanya.
Memang akan dilihat kriteria, kata dia, karena itu ada yang ditolak. Namun, sebagian besar akan diterima. "Sudah banyak yang seperti itu, tapi untuk kasus ini saya tidak tahu apakah sudah mengurus atau belum," ujarnya. Simak berita masalah layanan publik untuk warga miskin di sini.
ILHAM TIRTA