TEMPO.CO, Jambi -Pemerhati lingkungan hidup yang juga Direktur Yayasan Prespektif Baru, Wimar Witoelar, mengemukakan Indonesia sudah saatnya menghentikan upaya pembukaan perkebunan kelapa sawit. Bukan hanya karena sawit merupakan tumbuhan monokultur dan tidak ramah lingkungan, tapi juga upaya pembukaan kebun sawit lebih banyak merambah kawasan hutan.
"Saya pikir sudah sepatutnya Indonesia mulai menghentikan perluasan perkebunan kelapa sawit. Lebih baik fokus pada upaya memaksimalkan produksi dari kebun yang sudah ada," kata Wimar seusai menjadi moderator acara diskusi bertema masa depan hutan Indonesia di Aula Universitas Jambi, Selasa, 9 April 2013. Menurut Wimar, jika tidak segera diambil langkah yang tepat, maka bencana banjir dan kekeringan di negeri ini kedepannya akan semakin parah.
Diskusi ini menghadirkan pembicara Manajer Program kebijakan dan Advokasi Komunitas Konservasi Indonesia Warsi, Diki Kurniawan; Legal and Institutional Spesialist Satuan Tugas Reduced Emissions from Deforestation and Forest Degradation (REDD), Gita Syahrani; dan Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Jambi, Syamsurizal Tan.
Diki Kurniawan dalam makalahnya memaparkan tentang gambaran kawasan hutan di Provinsi Jambi yang punya luas sekitar 2,1 juta hektar. Sebagian diantaranya, yaitu 1,1 juta hektar merupakan kawasan taman nasional, seperti Taman Nasional Kerinci Sebelat, Taman Nasional Bukit Duabelas, Taman Nasional Berbak dan Taman Nasional Bukit Tigapuluh. Selebihnya, merupakan kawasan hutan ekosistem dan hutan produksi.
"Kondisi tutupan hutan di Provinsi Jambi saat ini sudah sangat memprihatinkan, antara lain akibat pembukaan lahan perkebunan sawit dan hutan tanaman industri secara berlebihan dan tanpa memperhatikan dampaknya. Wajar saja bila musim hujan terjadi banjir dan sebaliknya saat kemarau terjadi kekeringan," ujar Diki.
Banyaknya pembukaan lahan sawit juga menimbulkan konflik lahan antara perusahaan dengan masyarakat. Gita Syahrani menyatakan data dari Kementrian Pertanian mencatat, dari seribu perusahaan perkebunan sawit di Indonesia, 59 persen diantaranya terlibat konflik. "Secara teoritis penyebab konflik adalah perusahaan membutuhkan lahan luas, sementara lahan tersebut dalam penguasaan masyarakat," ujar Gita.
Mudarat pembukaan lahan sawit juga diungkapkan Syamsurizal. Menurutnya pembukaan lahan sawit tidak berdampak positif terhadap masyarakat secara umum. "Kebun kelapa sawit hanya menguntungkan pemilik perusahaan, sementara masyarakat di level menengah ke bawah dirugikan. Ini karena masyarakat di sekitar kebun sendiri tidak dilibatkan secara aktif dalam pengelolaan maupun kepemilikan," kata Syamsurizal Tan. (Baca berita-berita tentang Kelapa Sawit DI SINI)
SYAIPUL BAKHORI
Berita lainnya:
Tengok Cuitan Anas Urbaningrum Soal SMS
Mantan Pangdam IV: Komnas HAM Jangan Didengar
Video Polisi Bali Terpopuler YouTube Pekan Ini
Pagi Ini Andi Mallarangeng Siap Buka-bukaan