TEMPO.CO, Jakarta - Memperpendek jam kerja dalam sepekan kerap membuat para pekerja harus menyelesaikan tugas sama dalam waktu lebih singkat. Sebaliknya, khususnya bagi pekerja wanita, mempunyai waktu luang di rumah artinya menghabiskan waktu lebih banyak bagi pekerjaan rumah tangga dan pengasuhan anak. Survei di Korea ini mirip dengan kondisi wanita pekerja di Indonesia.
Penelitian terbaru dilakukan oleh Professor Robert Rudolf dari Korea University di Seoul menyebutkan, dampak dari penurunan jam kerja sepekan pada kebahagiaan pernikahan atau pasangan menikah dengan anak-anak.
Korea Selatan memperkenalkan kebijakan lima hari kerja pada 2004 dan menjadikan hari Sabtu sebagai hari kerja tidak resmi. Jam kerja seminggu mengalami pengurangan dari 44 jam menjadi 40 jam.
Tujuan dari kebijakan ini meningkatkan standar kehidupan, meningkatkan industri wisata yang mengalami pelemahan dan menurunkan dampak negatif dari panjangnya jam kerja, termasuk rendahnya produktivitas dan tingginya cedera pekerjaan.
Penelitian Prof Rudolf dipublikasikan online di Springer's Journal of Happiness Studies ini pertama kalinya menilai dampak-dampak penurunan jam kerja terhadap kesejahteraan subjektif individual dan keluarga. Riset ini didasarkan pada survei longitudinal dari rumah tangga di perkotaan Korea, Korean Labour dan Income Panel Study, yang dilakukan pada 1998 sampai 2008.
Hasil riset dikutip oleh situs Telegraph edisi 22 Agustus 2013 menyatakan, para ibu dan wanita bekerja umumnya lebih bahagia dengan perubahan jam kerja tersebut dibandingkan dengan para pekerja pria. Alasannya, para wanita menghadapi konflik dengan peran rumah tangga dalam tradisi masyarakat Korea tradisional sehingga lebih menderita dengan adanya jam kerja lembur.
Meski kerja full-time, para wanita senang dengan berkurangnya jam kerja selama sepekan. Namun, hal tersebut tidak memberikan dampak berarti pada pekerjaan sepekan, diganti tuntutan intensitas pekerjaan lebih tinggi dari atasan, sementara perusahaan lebih cenderung untuk mengurangi waktu libur.
Menurut Prof Rudolf, temuan ini menunjukkan bahwa ada kekeliruan teori tradisional yang mengatakan bahwa jam kerja lebih panjang memberikan dampak negatif terhadap kebahagiaan pribadi pekerja. Artinya, peningkatan intensitas kerja karena pengurangan jam kerja menutupi manfaat positif yang terjadi. "Jika yang terjadi adalah hal yang kedua, maka naif untuk mempercayai bahwa pengurangan jam kerja bisa meningkatkan kesejahteraan pekerja," katanya.
TELEGRAPH I ARBA'IYAH SATRIANI
Berita Terpopuler
Lulung: Saya The Godfather
Punya Mertua Kaya, Jenderal Moeldoko: Alhamdulilah
Ini Daftar Lengkap Kekayaan Jenderal Moeldoko
Guruh Soekarno Kecewa Ario Bayu Perankan Soekarno