TEMPO.CO, Surabaya - Uni Eropa tertarik mengembangkan investasi di Surabaya. Kota terbesar kedua di Indonesia ini dianggap mewakili kota dengan birokrasi yang tidak bertele-tele. Menurut Duta Besar Uni Eropa Olof Skoog, pebisnis Eropa pasti mencari daerah yang mempunyai strategi hukum untuk dijadikan lokasi investasi.
"Investor pasti cari yang tidak banyak birokasi, tidak korupsi, dan Surabaya bisa mewakili itu," kata Olof kepada Tempo seusai pembukaan pameran Destination Europe di Grand City Mall, Surabaya, Jumat, 13 Februari 2015.
Olof semakin tertarik kepada Surabaya setelah bertemu langsung dengan Wali Kota Tri Rismaharini di Hotel Majapahit, Surabaya, hari ini. Olof tidak sendirian dalam pertemuan itu. Ia mengajak diplomat dari sembilan negara anggota Uni Eropa, di antaranya Duta Besar Republik Ceko Tomas Smetanka, Duta Besar Irlandia Kyle O Sullivan, Duta Besar Belgia Patrick Hermann, Duta Besar Austria Andreas Karabaczek, Duta Besar Polandia Tadeusz Szumowski, dan utusan diplomatik Swedia, Eddy Fonyodi.
Setelah berdiskusi, Olof melihat sosok Risma sebagai orang yang berkepribadian, pekerja keras dan mempunyai solusi ke depan. Olof juga melihat adanya peluang besar untuk berinvestasi lebih luas lagi. Apalagi sejumlah daerah di Eropa memang sudah lebih dulu berhubungan dengan Surabaya sebagai sister city ataupun dalam bidang perdagangan dan investasi.
Prioritas pembangunan yang disampaikan Risma adalah transportasi publik dan solusi hijau atau green solution. Olof mengatakan banyak perusahaan berteknologi tinggi di Eropa yang menerapkan green solution. Para duta besar dan utusan diplomatik Uni Eropa yang saat ini berkunjung ke Surabaya diharapkan bisa memfasilitasi kerja sama investasi perusahaan di Eropa dengan Surabaya. "Mungkin mereka tertarik bernvestasi di sektor industri," katanya.
Dalam pertemuan itu, Risma menjelaskan langkahnya mengurangi korupsi dengan memanfaatkan teknologi informasi. Ia juga menyinggung rencana kerja sama dengan kota pelabuhan di Belgia, Antwerp, yang sampai sekarang belum terealisasi. "Mungkin ada kebijakan lokal di sana yang belum memungkinkan terlaksananya kerja sama," kata Risma.
AGITA SUKMA LISTYANTI