TEMPO.CO, Rembang – Sejumlah nelayan terpaksa kembali melaut meski ada larangan menggunakan alat tangkap cantrang dari pemerintah. Nelayan beralasan sudah tak sanggup lagi menanggung biaya hidup. “Mau tidak mau kami harus melaut untuk menutup keperluan sehari-hari,” kata nakhoda kapal cantrang, Maksum, 31 tahun, kepada Tempo di dermaga kapal Tasikagung, Rembang, Jawa Tengah, Jumat, 14 Maret 2015.
Menurut dia, para nelayan sudah menjual semua barang berharga mereka untuk bertahan hidup. “Yang punya tabungan masih mending, tapi yang tidak punya sampai harus jual barang-barang,” ujarnya
Maksum mengatakan, sejak Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 2 Tahun 2015, yang melarang nelayan menggunakan alat tangkap pukat hela (trawl) dan pukat tarik atau cantrang (seine nets), diberlakukan, pendapatan nelayan merosot tajam.
Para nelayan, kata Maksum, sebenarnya berharap pemerintah segera merevisi peraturan tersebut. Namun, setelah tiga bulan, nelayan sudah tak sanggup lagi untuk bertahan. “Nelayan nekat melaut meski ada risiko ditangkap aparat Kepolisian Air dan Udara (Polairud).”
Kondisi yang sama dialami anak buah kapal cantrang, Kusmini. Dia mengaku terpaksa melawan peraturan pemerintah karena sudah tidak sanggup lagi menanggung biaya hidup. “Selama ini nelayan bekerja baik-baik di laut. Kami tidak mau sampai melawan pemerintah, tapi kami juga butuh hidup,” ujarnya.
Pria yang sudah melaut sejak usia 14 tahun ini mengatakan alat tangkap cantrang sama sekali tidak mengganggu terumbu karang di dasar laut. Sebab, alat ini sangat berbeda dengan pukat harimau atau trawl.
Menurut Kusmini, cara kerja alat tangkap itu berbeda. Untuk alat tangkap ikan trawl sendiri lebih bersifat aktif. Pada saat menebar alat tangkap, mesin kapal dalam keadaan hidup. Kondisi ini berpotensi merusak karang karena ada papan dalam jaringnya.
Berbeda dengan cantrang. Saat jaring disebar, posisi mesin kapal dalam keadaan mati. Posisi jaring ikan tidak sampai ke dasar laut, melainkan hanya mengambang di permukaan. Setelah jaring ditebar dan ikan didapatkan, nelayan pun segera menariknya.
Ukuran jaring cantrang, kata dia, adalah 1,5-6 inci dan akan robek jika tersangkut karang di laut. “Jadi sangat tidak mungkin kami ambil risiko menangkap ikan di wilayah yang banyak terumbu karangnya,” kata Kusmini.
Ketua Relawan Cantrang, Suyoto, mengatakan kapal nelayan saat ini sudah dilengkapi alat yang bisa mendeteksi benda di dasar laut. “Nelayan akan menghindari karang karena merugikan mereka nantinya,” ujarnya.
Dia meminta pemerintah mengkaji sejumlah alat tangkap ikan. “Mohon dilakukan studi lebih mendalam alat mana yang bisa dan tidak bisa digunakan. Kalau sudah ada bukti merugikan, kami tidak bisa membantahnya.”
FARAH FUADONA