TEMPO.CO, Jakarta - PT Angkasa Pura II telah memberlakukan uji coba First in First Out (FIFO) untuk taksi di Terminal 1 Bandara Soekarno-Hatta. Menanggapi hal ini, Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi menemukan sejumlah kelemahan dalam hasil survei dan pengamatannya. "Didapatkan beberapa persoalan," kata Tulus dalam keterangan tertulisnya, Jakarta, 2 Mei, 2016.
Sistem FIFO mengharuskan masyarakat naik taksi apa pun yang datang lebih dulu ke area pengangkutan penumpang di bandara.
Tulus mengeluhkan sistem FIFO yang hanya untuk keberangkatan saja, tapi tidak untuk pengendapan. Untuk pengendapan masih menggunakan sistem lama. Ia mencurigai adanya praktek kolusi.
Menurut Tulus, kolusi ini diduga dilakukan petugas keamanan dengan pihak taksi tertentu. Akibatnya, sistem FIFO menjadi tidak efektif karena justru menguntungkan operator taksi yang dominan.
Baca: Koper Penumpang Sriwijaya Air Dibobol, Ini Rekaman CCTV
Tulus menambahkan, taksi kapal keruk sangat merugikan operator taksi lain. Taksi kapal keruk pada dasarnya adalah free shuttle bus yang mengangkut antrean penumpang di bandara menuju buffer stock di Rawabokor.
Pengangkutan ini dilakukan taksi Blue Bird dan Ekspres. "Dari situ, konsumen diangkut dengan taksi nonstiker bandara. Ini merugikan operator taksi lain dan berpotensi merugikan konsumen," ujar Tulus.
Selain itu, YLKI melakukan pengamatan on board pada 7-14 Maret 2016 dengan 168 perjalanan. Tulus mengaku ada enam poin penting yang ia temukan selama melakukan survei.
Pertama, menurut dia, terdapat pengemudi taksi yang menerapkan tarif tambahan (surcharge) lebih tinggi daripada ketentuan, yakni Rp 35 ribu. Padahal tarif tambahan tertinggi hanya Rp 10.500.
Simak: Jokowi Diminta Sosialisasi Manfaat Pengampunan Pajak
Kedua, apabila konsumen menginginkan kuitansi pembayaran di-print, tak jarang ada pengemudi yang meminta biaya tambahan. Tambahan ini sebesar Rp 10-30 ribu.
Hal lain yang ditemukan YLKI adalah waktu tunggu yang masih lama. Selain karena kemacetan, ini terjadi akibat masih banyaknya sopir yang mencari penumpang di luar bandara. Tulus memperkirakan masih terdapat 41,7 persen armada taksi yang waktu tunggunya mencapai 10-40 menit.
Dari sisi kualitas, Tulus menemukan sebagian besar pengemudi tidak mengucapkan salam atau menyapa penumpangnya. "Sebanyak 55,7 persen pengemudi taksi tidak mengucapkan salam kepada penumpangnya," ucap Tulus.
Beberapa pengemudi juga dinilai tidak taat rambu lalu lintas. Berdasarkan pengamatan, sekitar 12 persen pengemudi kecepatan kendaraannya di atas 80 kilometer/jam dan bermain handphone saat mengemudi.
Baca Pula: May Day, Ini Kata Darmin Soal Tuntutan Buruh
Selain itu, Tulus mengaku masih ada taksi yang meminta borongan. YLKI menemukan sopir taksi yang meminta tarif borongan sebesar Rp 300 ribu, padahal jaraknya hanya dari Bandara Soekarno-Hatta ke Mal Taman Anggrek.
Untuk itu, tutur Tulus, perlu ada perbaikan dalam sistem FIFO ini. "Sistem ini tidak melanggar hak konsumen, asalkan kualitas dan pelayanan dari tiap jenis taksi disamaratakan."
MAWARDAH NUR HANIFIYANI