TEMPO.CO, Bangkalan -- Lebaran ketupat di Kecamatan Socah, Kabupaten Bangkalan, Jawa Timur, selalu meriah. Setiap tahun, tepat hari ke-7 lebaran Idul Fitri, warga di tiga desa: Jaddih, Parseh dan Bilaporah kompak menggelar pawai dokar hias keliling desa.
Kali ini, pawai diikuti 30-an peserta. Namun seiringan kian pesatnya dunia industri, peserta tidak lagi didominasi dokar yang jadi ikon pawai jalanan ini. Pikap, sepeda motor hingga dorkas juga turut ambil bagian. Satu persamaannya, apa pun moda transportasi yang digunakan, wajib dihias menggunakan kertas minyak.
Sebuah Dokar misalnya, dihias sedemikian rupa, sehingga tampilannya mirip sebuah kendaraan perang tank. Ada juga sepeda motor yang bodi ditutupi pelepah pohon salak. Hingga sebuah mobil pikap butut yang seluruh bodinya ditutupi kertas hvs.
Abbas, salah satu panitia pawai, menuturkan, tidak hanya berkeliling, panitia juga menyediakan lima hadiah kepada lima peserta pawai paling kreatif dan unik menghias dokar. "Lewat kegiatan ini, dokar harus tetap lestari," kata dia, Rabu, 13 Juli 2016.
Setelah pawai usai, panitia juga menyediakan hiburan pentas musik orkes dangdut. Melihat kemeriahannya, butuh biaya besar untuk penyelenggaraan. Menurut Abbas, dana pawai bersumber murni dari sumbangan masyarakat. Mereka yang dimintai sumbangan adalah pemilik toko di Pasar Jaddih, para perantauan yang sedang pulang kampung dan masyarakat mampu lainnya. "Karena ada yang menyumbang, makanya acara ini selalu digelar tiap tahun," ujar dia.
Tradisi pawai dokar hias sudah ada sejak tahun 1960-an. Namun baru ditata lebih serius termasuk diadakan lomba pada 1985. "Kebetulan, lomba pertama dokar hias, saya ketua panitianya," kata Imam Syafii. Dia putra asli Desa Jaddih, anak mantan kepala desa. Kini Imam jadi Dosen di Unesa Surabaya. "Waktu saya kecil, pawai ini sudah ada dan selalu meriah," ujar Imam.
Dulu, tutur Imam, peserta pawai hanya cikar dan dokar. Cikar adalah alat angkit hasil bumi ditarik sapi, sedangkan dokar alat angkut orang ditarik kuda. Kini cikar sudah sudah punah. "Di Jaddih, sekarang paling hanya tersisa satu atau dua orang masih pakai cikar," ujar dia.
Selain untuk melestarikan tradisi, menurut Imam tujuan lain pawai tersebut adalah pemberdayaan pemuda desa. Sebelum tahun 1985, saat lebaran ketupat kebanyakan pemuda Jaddih mencari hiburan ke desa lain. Aktivitas itu, kerap menimbulkan keributan dengan pemuda desa lain. Sebab itu, saat pawai dikelola oleh panitia khusus, Imam banyak melibatkan pemuda desa. "Sampai sekarang," ungkap dia.
Namun pawai ini bikin macet. Sebab Rute pawai melintasi jalan utama desa yang padat lalu lintas. Pawai berlangsung di tengah lalu lalang kendaraan umum. "Ke depan panitia harus mencari solusi, agar pawai tidak bikin lalu lintas macet," Imam menyarankan.
MUSTHOFA BISRI