TEMPO.CO, Jakarta - Fenomena mendongeng mulai kembali marak dan masyarakat pun tampak antuasias. Memang fenomena mendongeng kini disambut baik oleh peneliti dan pakar dongeng anak, Murti Bunanta. Kata dia, bersemangatnya orang untuk mendongeng merupakan gejala positif. Tapi, kemunculan pencerita-pencerita ini perlu dilengkapi dengan kemampuan mendongeng dan pemilihan dongeng yang tepat.
“Jangan sampai mendongeng hanya sebagai ajang seru-seruan namun minim konten dan tak memberikan nilai baik bagi pendengarnya,” kata Murti yang mengomentari sebuah gelaran Festival Dongeng Internasional Indonesia 2016 yang berlangsung awal November lalu
Mendongeng, Murti memaparkan, harus menarik, bermanfaat, dan berilmu. Anak sebagai pendengar dongeng harus dirangsang untuk mencari tahu lebih dari apa yang ia dengar. Misalnya, anak melanjutkan eksplorasi cerita melalui buku atau bertanya kepada orangtua dan guru.
Proses pemilihan cerita pun harus benar-benar selektif. Sesuaikan cerita dengan usia pendengar, saring pula isi dan pesan yang terkandung dalam cerita. Dari sebuah cerita rakyat yang umumnya berasal dari sumber anonim, ucap dia, bisa berbiak menjadi banyak versi. Kisah Bawang Merah dan Bawang Putih, Murti memberi contoh, sudah dibuat dalam sekitar 30 versi cerita.
“Kalau pendongeng mengambil versi Bawang Merah yang selalu menderita, selalu dipukuli, itu jelek. Anak bisa saja tertawa saat diceritakan, tapi bisa membuat dia ikut sadis,” Murti mengungkapkan.
Selain itu, penting juga memperhatikan bagaimana dongeng dijadikan sebagai sarana menyampaikan nilai-nilai yang universal. Cerita rakyat, kata dia, tidak pernah memuat isu mengenai ras dan agama. Cerita rakyat lahir sudah lama sekali dan tak pernah berhubungan dengan agama atau kepercayaan apapun secara khusus. Itulah mengapa, menurut dia, sebuah cerita rakyat biasanya bisa dinikmati oleh pendengar dari lintas suku, kepercayaan, bahkan negara.
AISHA SHAIDRA