TEMPO.CO, Jakarta --Kelenteng Eng An Kiong Jalan Basuki Rachmat Kota Malang menggelar wayang potehi menjelang perayaan Imlek. Wayang potehi khas kesenian Thionghoa digelar selama dua bulan secara terus menerus. "Non stop wayang tiap hari. Sehari dua kali tampil, masing-masing dua jam," kata juru bicara Klenteng Eng An Kiong, Kamis 25 Januari 2017.
Pagelaran wayang potehi sangat ditunggu masyarakat setelah vakum selama lima tahun. Kelenteng tak menampilkan wayang potehi saat perayaan Imlek selama lima tahun karena dana tersedot untuk renovasi klenteng. "Gelaran wayang potehi untuk ikut melestarikan budaya," katanya.
Sebuah panggung setinggi tiga meter, berbentuk rumah-rumahan berdiri di depan Klenteng. Panggung ini menjadi tempat pertunjukan wayang potehi. Kelenteng menghadirkan kelompok wayang potehi dari Kelenteng Fu Ho An Jombang. Pemain seluruhnya merupakan warga pribumi, bergama Islam. Ada akulturasi budaya dan agama. "Pemimpinnya warga keturunan Thionghoa," ucap dia.
Baca juga:
Patrialis Akbar OTT KPK, Ketua MK: Ya Allah Saya Mohon Ampun
Panglima Yakin Personel Tak Terlibat Penyelundupan Senjata
Dalang wayang potehi, Widodo Santoso, 44 tahun, mengaku belajar wayang potehi sejak usia 20 tahun. Dia mengawali menjadi asisten dalang, menyiapkan wayang potehi sesuai karakter yang dimainkan. Lantas dia mulai memperhatikan cerita, menghapal karakter dan memainkan wayang. "Ada 125 karakter, dengan 25 cerita berbeda," katanya.
Kegemaran Widodo pada wayang potehi bermula pada 1980-an. Lelaki asal Blitar ini menonton wayang potehi di Klenteng yang terletak di depan rumahnya. "Dulu tak banyak hiburan, penonton berjubel," katanya.
Widodo tak hanya cakap memainkan wayang potehi dengan karakter dan cerita dari Negeri Tirai Bambu. Namun, dia juga membuka pementasan dengan bahaya Mandarin. Widodo sudah berkeliling menggelar pementasan ke kota di Jawa Timur, Jawa Tengah, Jakarta, Sulawesi, Kalimantan. Bahkan ke luar negeri meliputi Jepang, Taiwan dan Malaysia. Widodo tetap memainkan wayang potehi, meski dibawah guyuran hujan dan tak banyak orang yang menonton.
Instrumen khas wayang potehi bergema ke seluruh ruangan. Aroma harum dupa menyeruak, menambah kesakralan pertunjukan wayang potehi. Kursi penonton hanya diisi sekitar 10 orang. Selebihnya dibiarkan kosong tak digunakan.
EKO WIDIANTO