TEMPO.CO, Jakarta - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mewajibkan perusahaan pinjam meminjam peer to peer lending dan layanan peminjaman uang berbasis teknologi informasi untuk mendaftarkan diri. Hal itu sebagai implementasi dari aturan POJK Nomor 77/POJK.01/2016 Tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi, yang terbit akhir tahun lalu.
"Yang terdaftar baru satu, yang sedang proses mendaftar 23, dan ada 12 yang masih ngobrol-ngobrol," ujar Deputi Komisioner Pengawas Industri Keuangan Non-Bank OJK Edy Setiadi, di kantornya, Jumat, 24 Maret 2017.
Peer to peer lending adalah jasa keuangan yang dikembangkan melalui teknologi informasi. Peminjam dan pemberi pinjaman, dipertemukan melalui situs online tanpa adanya jaminan.
Edy menuturkan perusahaan fintech berkewajiban melapor dan mendaftarkan diri ke OJK. Aturan ini berlaku paling lambat enam bulan setelah peraturan OJK bergulir.
Ihwal satu perusahaan fintech yang telah resmi terdaftar itu, Edy enggan
menyebutkan identitasnya lebih lanjut. "Untuk 23 perusahaan yang sedang dalam proses itu saya rasa sebelum Juni sudah akan keluar hasilnya dan resmi terdaftar," katanya.
Baca Juga: OJK Tak Tentukan Bunga Pinjaman Fintech
Setelah terdaftar, kata Edy, ada persyaratan lanjutan yang harus dipenuhi oleh perusahaan fintech agar bisa mendapatkan izin untuk operasional, yaitu sertifikasi teknologi dari Kementerian Komunikasi dan Informatika. "Ini akan dimediasi dan duduk bersama bagaimana mekanismenya, tapi yang jelas tahapannya terdaftar dulu baru dapat izin."
OJK mencatat saat ini baru ada 157 perusahaan fintech peer to peer lending yang melaporkan diri. Total di seluruh Indonesia telah ada 600 perusahaan fintech yang terdeteksi.
Ada pun dalam peraturan itu disebutkan bahwa fintech harus berbentuk badan hukum perseroan terbatas dan wajib memiliki modal disetor minimal Rp 1 miliar. Fintech yang ingin mendaftar bisa langsung datang ke Kantor OJK Pusat Jakarta atau pun Kantor OJK di daerah. "Kami tidak ingin fintech jadi seperti shadow banking, jadi harus ada treatment untuk regulasinya," ucap Edi.
Simak: OJK Sosialisasikan Peraturan Fintech dan Usaha Pegadaian
Edy menjelaskan pihaknya ingin mengetahui bagaimana model dan rencana bisnis perusahaan fintech, hingga kesiapan teknis dan sumber daya manusia yang dimiliki. Sehingga ke depan akan berjalan dengan baik dan berkesinambungan."Kami
langkahnya agak hati-hati di awal, nanti kalau sudah ketemu model bisnisnya baru cepat."
Menurut Edy, dalam asosiasi fintech yang telah ada saat ini juga diperlukan market of conduct sebagai panduan teknis. "Nanti mereka akan presentasi ketika mendaftar jelaskan tentang bisnis mereka, dan syarat mendaftar harus sudah tercatat di asosiasi fintech," ucapnya.
Wakil Ketua Asosiasi Fintech Indonesia, Adrian A. Gunadi mengatakan saat ini baru ada 70 perusahaan fintech yang terdaftar di asosiasi. Sebanyak 50 perusahaan bergerak di bidang payment atau sistem pembayaran, sedangkan 20 sisanya bergerak di bidang pinjam meminjam. Adapun volume transaksi fintech keseluruhan saat ini mencapai US$ 18 miliar."Kami dari asosiasi mewajibkan semua fintech untuk ikut standar termasuk proses pendaftaran dan perizinan," ujarnya.
Menurut Adrian, kolaborasi antara industri dan regulator sangat penting. Terlebih karakteristik fintech yang cenderung lebih lincah dan dituntut cepat mengatasi rintangan yang ada. "Proses pendaftaran kami harapkan bisa lebih cepat dan
terkoordinir."
Baca: BI: Jika Fintech Diatur Terlalu Ketat, Tak Baik Juga
Menurut Adrian, khusus untuk fintech peer to peer landing masih sangat potensial di Indonesia, sebab akses penetrasi kredit masih rendah. "Ada Rp 1.000 triliun akses kredit yang belum terlayani, kami harap bisa berkontribusi 30 persen dari jumlah itu," katanya.
GHOIDA RAHMAH