TEMPO.CO, Jakarta - Fashion menjadi alat bagi kaum perempuan untuk memperjuangkan haknya. Perkembangan fashion merupakan wujud perjuangan kesetaraan oleh perempuan. Dulu, memperlihatkan sedikit saja bagian kaki dapat menimbulkan kehebohan.
Wanita yang berbaju pendek atau terbuka sedikit dianggap tidak sopan dan maskulin. Baju-baju modern berpotongan mini atau ketat yang kini dipajang di etalase toko, dulunya membutuhkan perjuangan berat dari para perempuan agar mereka bisa memakainya di muka umum.
Pada 1800, aturannya pakaian wanita terdiri dari korset, rok renda dalaman yang kaku, serta rok luar panjang hingga menyentuh tanah. Ketentuan itu dipatuhi oleh seluruh perempuan pada masa itu, kecuali Amelia Bloomer. Bloomer yang merupakan pejuang hak-hak perempuan, pengacara, dan editor koran feminis The Lily, mendobrak budaya berpakaian dengan memakai celana sebagai pengganti rok.
1800s: The Blip Of The Pantaloon
Amelia Bloomer mengusulkan pemakaian celana yang awalnya berfungsi sebagai dalaman rok untuk mempermudah gerakan dan membuat nyaman para perempuan. Sikap Bloomer memicu kekhawatiran, terutama ulama ortodoks dan kritikus yang menganggap perubahan standar pakaian merupakan bentuk perampasan otoritas laki-laki oleh perempuan.
Gerakan perubahan dari rok ke celana didukung oleh para perempuan. Mereka menyebut penggunaan korset ketat dan rok panjang sebagai penghalang kebebasan dalam bergerak dan berekspresi. Dengan demikian, revolusi celana oleh Amelia Bloomer menjadi simbol perjuangan kesetaraan gender oleh perempuan.
Seabad setelahnya, muncul tren rambut baru, yakni bob. Pada 1920-an, perempuan berbondong-bondong memangkas rambut mereka hingga sejajar dengan dagu atau telinga sebagai wujud kebebasan. Gaya tersebut kemudian dikenal dengan nama “flapper”. “Rambut model bob merupakan ekspresi élan vital (jiwa) saya,” kata salah satu penganut flapper, Ellen Welles Page pada majalah Outlook 1922.
1920s: The Bobbed Hair Epidemic
Lagi-lagi, pemberontakan kaum perempuan tersebut menimbulkan reaksi negatif dari masyarakat. Sebuah toko retail yang berjaya di Amerika pada masa itu, Marshall Fields sampai memecat salah satu pegawai perempuannya yang berambut bob. “Rambut bob adalah bentuk penguasaan diri kembali oleh perempuan. Hal tersebut membuat publik panik dan menganggap dunia semakin kacau, terutama setelah terjadinya Perang Dunia I,” kata dosen sejarah dan seni di Universitas Maryland, Victoria Pass.
Keberanian perempuan untuk memperjuangkan hak-haknya dengan mengekspresikan dirinya tersebut akhirnya menginspirasi desainer kondang asal Prancis, Coco Chanel. Dia menciptakan setelan wanita yang didesain elegan, nyaman, serta bergaya.
1930s: Chanel Two-Piece Suits
“Model berpakaian Chanel adalah maskulinitas yang dibalut feminitas, sehingga menunjukkan unsur kemandirian,” ujar sejarawan mode Valerie Steele pada essainya yang bertajuk ‘Chanel in Context’.
Pada 1950-an, seorang perancang mode bernama Claire McCardell melakukan revolusi mode di Amerika dengan menggunakan bahan tipis dan pinggang yang menggunakan karet elastis, resleting, serta kancing.
1950s: Claire McCardell's Woman On The Move
Dobrakan McCardell tersebut melawan tren penggunaan kain tebal, korset, dan sumpalan bahu yang kala itu dipopulerkan oleh Dior. “Berbeda dengan rumah mode Dior yang menggunakan korset, rancangan McCardell lebih nyaman dan mudah digunakan bagi perempuan,” tutur Pass.
Satu dekade kemudian, perempuan kembali melakukan gebrakan dengan tren rok pendek. Pada 1960-an, terjadi revolusi gender dan budaya, terutama terkait pelegalan penggunaan pil kontrasepsi. Tren rok pendek dengan tinggi di atas lutut yang diprakarsai oleh perancang Mary Quant, kerap bermunculan sebagai bentuk kesadaran feminisme. “Di tengah perubahan politik dan budaya yang dramatis, muncul salah satu ikon yang paling abadi dan kontroversial: rok mini,” tulis website randomhistory.com dalam tulisan “Fashion Revolution: A History of the Miniskirt”.
1960s: Mini Mania
Rok mini mendekontruksi mitos wanita sebagai ibu rumah tangga dan istri menjadi gadis muda, lajang, bahagia, yang bangga dan percaya diri. Sama seperti revolusi mode sebelumnya, tren rok mini mendapat kecaman publik. Beberapa negara di Eropa melarang pemakaian rok mini di muka umum. Bahkan, seorang pramusaji di Afrika dilempari batu karena memakai rok mini dan disebut sebagai ‘penyebar HIV/AIDS’.
Busana wanita terus berkembang hingga pada 1970, resleting pada pakaian mulai ditinggalkan. Sosialita Diane Von Furstenberg mempopulerkan gaun tanpa resleting dan kancing, dan menggantinya dengan tali di bagian pinggang. Gaun tersebut langsung meledak di kalangan perempuan bekerja dan rumahan.
1970s: The Double Life Of Wrap Dresses
Fashion perempuan memasuki masa gemilang di era 1980-an. Gagasan perempuan harus mengurus rumah dan keluarga semakin ditinggalkan. Perempuan kian banyak bekerja di kantor sebagai semangat untuk meniti karir dengan serius.
1980s: Power suits And Board Rooms
Alhasil, pada era ini perempuan mulai berpakaian layaknya pria kantoran, tapi tetap dengan beberapa sentuhan feminin, seperti kemeja, bawahan rok warna gelap. Pada masa itu pula, mulai banyak perempuan yang menduduki posisi politik, seperti Sandra Day O’Connor yang dipilih oleh Presiden Amerika Serikat, Ronald Reagan, sebagai hakim agung perempuan pertama.
Di era 1990 menandakan puncak kebebasan perempuan di dunia fashion. Pada dekade tersebut, perempuan semakin berani mengekspresikan diri masing-masing dengan berbagai eksperimen gaya. Mulai dari grunge yang terinspirasi music rock, warna neon, celana legging, hingga tampilan school girl, yang didominasi rok motif tartan.
1900s: Suffragette Colors
Dunia mode kini tak lagi terkungkung oleh aturan budaya. Semakin banyak gaya dan model pakaian perempuan sebagai bentuk kebebasan dan kebanggaan atas diri mereka.
BUSTLE | TELEGRAPH | THE 20S DIARY | ZARA AMELIA