TEMPO.CO, Jakarta – Asosiasi Industri Minuman Ringan (Asrim) melaporkan hasil kinerja industri minuman ringan di Indonesia sepanjang kuartal I 2017. Menurut Ketua Asrim Triyono Pridjosoesilo, terlepas dari bonus demografi Indonesia yang menyediakan banyak potensi minuman ringan, dalam beberapa tahun terakhir ini pertumbuhan sektor tersebut masih berada dalam fase rentan.
Baca: Ketimbang Kopi, Minuman Berenergi Lebih Berbahaya?
Hal ini terlihat dari tren pertumbuhan sektor minuman ringan dalam empat tahun terakhir, yang hanya berada di kisaran 4-8 persen. Sedangkan jika berkaca pada awal 2000-an, angka pertumbuhan minuman konsisten berada pada kisaran 10-15 persen.
Baca: Multi Bintang Dongkrak Produksi Minuman Non-Alkohol
”Untuk kuartal pertama tahun ini, pertumbuhan industri minuman ringan bahkan negatif. Minus 3-4 persen. Ini terjadi hampir pada semua kategori minuman ringan, “ tutur Triyono Pridjosoesilo dalam acara konferensi pers di Hotel Denpasar, Kuningan, Jakarta Selatan, Senin, 8 Mei 2017.
Di sisi investasi, industri makanan dan minuman, termasuk minuman ringan siap saji di dalamnya, masih menjadi salah satu penyumbang investasi yang signifikan. Berdasarkan data realisasi kuartal I 2017 dari BKPM, sektor ini menyumbangkan nilai investasi sebesar Rp 18,5 triliun.
Meski demikian, dari data juga terlihat bahwa para investor asing masih memperlihatkan keraguan untuk berinvestasi di sektor ini. Adapun sebagian besar investasi masih didominasi oleh penanaman modal dalam negeri (PMDN).
Terlepas dari pertumbuhan yang masih rentan, menurut Triyono, industri minuman ringan masih menyediakan potensi yang besar. Sebab, bonus demografi Indonesia, sebagai negara dengan lebih dari 250 juta konsumen, 25 persennya merupakan usia produktif, yang dapat menyediakan potensi pertumbuhan pasar konsumsi yang menjanjikan tak hanya di kelas menengah, tapi juga menengah ke bawah.
”Data BPS 2013 menunjukkan bahwa konsumen Indonesia membelanjakan 2 persen belanja bulanan mereka untuk minuman,” kata Triyono.
DESTRIANITA