TEMPO.CO, Jakarta - Kementerian Perindustrian menargetkan produksi nikel sebesar 4 juta ton pada 2020. Angka itu setara dengan 10 persen kebutuhan dunia, yang mencapai 40 juta ton per tahun. Nikel itu antara lain tersebar di Indonesia timur, seperti Konawe, Kolaka, Pulau Obi, Halmahera, dan Morowali.
“Kami optimistis bisa tercapai karena Indonesia memiliki 32 titik proyek pemurnian dan pengolahan nikel yang tersebar di beberapa kawasan industri,” kata Direktur Jenderal Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi, dan Elektronik Kementerian Perindustrian, I Gusti Putu Suryawirawan, melalui surat elektronik, Kamis, 11 Mei 2017.
Baca: Pesisir di Sulawesi Tenggara Tercemar Nikel, Menteri Susi Geram
Kawasan industri yang dimaksud Putu antara lain di Konawe, Kolaka, Pulau Obi, Halmahera, dan Morowali. Saat ini, kata dia, pemasok terbanyak nikel adalah Cina. Namun Cina juga mengimpor ore ataupun bahan setengah jadi dari negara lain, termasuk Indonesia.
Untuk tujuan tersebut, Putu mengatakan kawasan Indonesia timur bakal menjadi pusat pengembangan industri berbasis smelter, khususnya pengolahan bijih nikel dan baja tahan karat (stainless steel). "Salah satunya di Kawasan Industri Morowali, Sulawesi Tengah."
Baca: Antam Bangun Tambang Nikel di Halmahera
Kawasan Industri Morowali memiliki lahan seluas 2.000 hektare yang ditargetkan akan menarik investasi US$ 6 miliar atau sekitar Rp 78 triliun. Kawasan ini juga diproyeksikan menyerap tenaga kerja 20 ribu orang dan tidak langsung sekitar 80 ribu orang. Ada pula Kawasan Industri Bantaeng seluas 3.000 hektare yang akan menarik investasi US$ 5 miliar atau sekitar Rp 55 triliun. Adapun Kawasan Industri Konawe menarik investasi Rp 28 triliun.
Untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja, Kementerian Perindustrian telah menyiapkan 1.200 orang sejak 2015-2017. Putu mengatakan tenaga kerja tersebut merupakan lulusan Politeknik Industri Logam Morowali, Akademi Komunitas Industri Logam Bantaeng, dan Politeknik Akademi Teknik Industri Makassar. “Ini merupakan salah satu wujud pendidikan vokasi industri berbasis kompetensi yang match dengan industri,” ujarnya.
Menurut Putu, pemerintah bekerja sama dengan industri membentuk lembaga pendidikan vokasi demi menciptakan tenaga kerja industri tingkat ahli muda (D-2) dan ahli madya (D-3) di bidang industri logam untuk kawasan Indonesia timur. Apalagi, kata dia, saat ini ada sekitar 13 ribu tenaga kerja di Kawasan Industri Morowali dan 2.000 di antaranya berasal dari Cina. Jumlah itu belum mencakup pekerja tidak tetap atau bekerja sementara, kemudian pulang ke negaranya.
Kepala Eksekutif Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) Alexander Barus mengatakan kawasan industrinya siap menampung tenaga kerja lokal. Dia berharap proyek penguatan sumber daya manusia yang digalakkan pemerintah berjalan lancar. “Jika sumber daya lokal sudah siap bekerja sesuai dengan kebutuhan industri, kami akan mengoptimalkan penggunaan pekerja lokal,” katanya.
FERY F