TEMPO.CO, Yogyakarta - Televisi nasional dengan kandungan siaran lokal dianggap masih minim. Apalagi jam tayang siaran lokal saat orang terlelap alias dinihari. Lebih parah lagi, tayangan itu diulang-ulang dengan materi yang sama. "Misalnya, tayangan kuliner, warungnya sudah tidak, tapi masih tayang," kata Michael Aryawan, praktisi pertelevisian dan jurnalis televisi di Yogyakarta, Minggu, 14 Mei 2017.
Tayangan siaran lokal yang mengangkat budaya serta kearifan lokal sebenarnya sangat strategis. Keberadaan televisi lokal juga sebenarnya sangat dinanti para penonton. Sayangnya, materi siaran televisi lokal masih jauh dari harapan penonton.
Para jurnalis televisi yang berstatus kontributor juga berharap konten lokal diperbanyak. Bahkan mereka mengeluh jika hasil liputannya jarang ditayangkan. "Pasti kontributor itu rindu tayang," ujarnya.
Mukijab, pengamat penyiaran yang sedang menyelesaikan gelar doktor tentang penyiaran, menyatakan siaran lokal untuk televisi nasional juga mempunyai nilai ekonomi dan strategis. Banyak anggaran milik pemerintah daerah untuk iklan atau program yang bisa diserap pengelola televisi.
Selain itu, sumber daya manusia yang terlibat dalam siaran itu juga terangkat secara ekonomi dan eksistensi mereka. "Pemerintah daerah bisa mengisi program di televisi nasional. Ini justru menguntungkan bagi industri televisi," ucapnya.
Menurut Neil R. Tobing, Sekretaris Jenderal Asosiasi Televisi Swasta (ATVSI), tayangan konten lokal di televisi sudah 10 persen. Ia juga menuturkan siaran berita di televisi nasional justru lebih banyak dari daerah, bukan dari pusat, Jakarta. "Justru berita dari daerah lebih banyak dibandingkan dengan berita di pusat, Jakarta," tuturnya.
Di sisi lain, televisi swasta nasional sedang galau. Sebab, menjelang rencana televisi digital, para pemilik stasiun televisi sudah berinvestasi ratusan miliar rupiah. Namun tiba-tiba ada rancangan undang-undang yang akan menetapkan Lembaga Penyiaran Publik (LPP) Radio Televisi Republik Indonesia (RTRI) sebagai satu- satunya penyelenggara penyiaran multipleksing digital. Sebab, itu akan memunculkan monopoli dalam kegiatan penyiaran.
Ketua ATVSI Ishadi S.K. mengatakan penetapan RTRI sebagai satu-satunya penyelenggara penyiaran akan berpotensi merugikan lembaga penyiaran lain, yang telah mengeluarkan banyak investasi untuk membangun jaringan. Sebab, nantinya RTRI berkuasa memberikan atau menolak izin kanal frekuensi konten penyiaran televisi.
"Kalau RTRI dijadikan satu-satunya penyelenggara penyiaran, akan berpotensi menghilangkan jaminan standar layanan penyiaran digital yang baik dan komprehensif. Juga bisa mengancam kebebasan menyampaikan pendapat dalam layar kaca," katanya dalam acara Bincang-bincang Dunia Penyiaran Masa Depan bersama awak media di Hotel Santika Yogyakarta, akhir pekan lalu.
MUH SYAIFULLAH