TEMPO.CO, Jakarta - Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menargetkan penghematan energi listrik sebesar 2 Giga Watt (GW) atau setara Rp 18,4 triliun tahun ini. Menurut Dirjen Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian ESDM Rida Mulyana, hemat energi lebih mudah dilakukan daripada menciptakan energi.
Rida mengatakan, sangat mudah untuk menghemat 1 watt dibandingkan dengan harus membangun 1 watt. Begitu pula dengan skala besar, untuk menciptakan 1 MW listrik jauh lebih sulit dibandingkan dengan menghemat 1 MW. "Dimulai dari sederhana, mematikan laptop dan televisi. Bayangkan kalau dilakukan di seluruh Indonesia," kata Rida, Senin, 22 Mei 2017.
Pemerintah, kata Rida, intensif menggalakkan perilaku hemat energi dengan program Potong 10 Persen kepada masyarakat. Targetnya hemat energi harus menjadi budaya. "Gerakan hemat energi Potong 10 Persen merupakan upaya pemerintah mewujudkan energi berkeadilan serta sejalan dengan paradigma pengelolaan energi global."
Selama 10 tahun terakhir, konsumsi energi naik sebesar 7 persen per tahun di mana 94 persen dari kebutuhan energi nasional bergantung pada sumber energi fosil. "Maka, penghematan energi adalah langkah tepat dalam memanfaatkan energi yang bertanggung jawab.
Pekan lalu Kementerian ESDM mengampanyekan program ini di tiga kota besar yaitu Balikpapan, Denpasar, dan Makassar. Berdasarkan data PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) 2015, total konsumi energi di tiga kota itu mencapai 12.080,94 GWh atau sekitar 12,1 Terra Watt Hour (TWh).
Penghematan yang didapat dari gerakan hemat energi "Potong 10 Persen" selama 1 tahun untuk ketiga wilayah itu 679,65 GWh atau setara Rp 997,04 miliar, dengan rincian Bali 212,62 GWh atau setara Rp 311,91 miliar, Balikpapan 205,68 GWh atau senilai Rp 301,74 miliar dan Makassar 261,35 GWh setara Rp 383,39 miliar.
Wakil Menteri ESDM Arcandra Tahar menegaskan pemerintah berupaya meningkatkan ketersediaan listrik dengan tarif listrik yang terjangkau untuk semua lapisan masyarakat. Upaya ini ditempuh dengan tetap berada dalam koridor yang tidak membebani Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Upaya tersebut dapat ditempuh dengan pengembang energi terbarukan melalui sumber pendanaan atau pembiayaan yang murah.
"Kami tidak boleh defisit anggaran lebih dari 3 persen dari gross domestic product (GDP). Kita harus mencari strategi di mana energi terbarukan bisa masuk tetapi tidak mengikuti subsidi," katanya.
Arcandra mengatakan hal itu bisa diatasi dengan membangun pembangkit dari energi terbarukan menggunakan sistem 85 persen dari the highest atau biaya pokok penyediaan setempat untuk yang di atas rata-rata. "Dalam menjalankan bisnis listrik energi hijau jangan sampai meningkatkan tarif listrik sehingga membebani masyarakat."