TEMPO.CO, Jakarta - Dr James DiNicolantonio dari Saint Luke’s Mid-America Heart Institute, Amerika Serikat, menulis sebuah buku, yang antara lain mengungkapkan bahwa kekurangan garam akan berdampak pada berat badan (gemuk) dan menurunkan gairah seksual seseorang.
Hal itu dia ungkapkan dalam bukunya yang berjudul The Salt Fix. Dr DiNicolantonio menjelaskan, selama ini, garam disalahartikan. Dia berpendapat orang-orang seharusnya mengonsumsi lebih banyak garam.
Pendapat ilmuwan kardiovaskular itu menggemparkan dunia medis. Kepada The Guardian, Louis Levy, ahli nutrisi dari Public Health England, mengatakan, "Diet yang dilakukan saat ini justru menyebabkan penyakit. Dengan mendukung diet tinggi garam, buku yang ditulis Dr DiNicolantonio sangatlah berisiko. Telah diakui secara internasional bahwa diet tinggi garam menyebabkan tekanan darah meningkat atau dikenal juga dengan risiko penyakit jantung."
Levy menambahkan, apa yang sudah diakui dunia medis internasional itu hancur begitu saja akibat klaim DiNicolantonio. "Tugas kami adalah menekan konsumsi garam dalam industri makanan. Sejauh ini, konsumsi garam di Inggris mengalami penurunan hingga 11 persen. Hal tersebut mulai dilirik negara lain dan diharapkan mampu diterapkan secara global," ujarnya.
Di Inggris, konsumsi garam dibatasi. Orang dewasa disarankan mengonsumsi sodium sebanyak 2,4 gram pers hari, kira-kira 6 gram garam atau sekitar kurang dari satu sendok teh. Hal tersebut kemudian diadopsi World Health Organization, American Heart Association, dan Public Health England.
Namun Dr DiNicolantonio, yang telah menguji lebih dari 500 laporan medis mengenai garam, mengkritisi batasan yang diterapkan Inggris dan beberapa organisasi besar tersebut. Dalam kesempatan terpisah, dia menuturkan, "Tidak ada bukti ilmiah untuk mendukung ide membatasi konsumsi garam tersebut."
Dr DiNicolantonio juga mengungkapkan hubungan antara asupan garam berlebih dan tekanan darah tinggi hanya mitos. Dr DiNicolantonio, yang juga editor British Medical Journal’s Open Heart, berujar, "Penilaian medis terhadap garam yang bersifat ortodoks seperti itu hanya didasari hipotesis belaka. Penilaiannya diperoleh dari rangkuman teori kesehatan sederhana, berdasarkan kesalahpahaman, ditambah dengan ilmu yang tidak mengikuti aturan yang sudah ditetapkan."
Seperti dilansir dari The Guardian, Graham MacGregor, profesor pengobatan kardiovaskular di Wolfson Institute, Queen Mary University of London, mengatakan Dr DiNicolantonio berhak menyampaikan pendapat. "Namun sayangnya ia salah tempat," katanya.
Mac Gregor dikenal berhasil mendorong pemerintah mengambil alih asupan garam harian.
Tampaknya, pendapat DiNicolantonio selaras dengan para peneliti dari Boston University. Pada April lalu, mereka menemukan bukti bahwa orang yang mengonsumsi lebih sedikit garam ternyata tekanan darahnya lebih tinggi. Hal tersebut tentu mendorong adanya penelitian lanjutan.
Peneliti dari Boston University mengungkapkan anjuran membatasi asupan garam harian terlalu sederhana. Itu juga mengabaikan fakta bahwa garam dapat meningkatkan hormon dalam tubuh yang berperan menjaga tekanan darah tetap rendah.
DAILYMAIL UK | ESKANISA RAMADIANI