Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ORANG kita bisa saja mendengarkan siaran radio dari seluruh
penjuru dunia. Dan bila pesawat radio dilengkapi antena khusus,
niscaya jangkauannya tak terbatas. Tapi bagi siaran televisi
masalahnya agak lain. Perkembangan teknologi televisi di
Indonesia masih setara dengan teknologi radio sebelum Perang
Dunia II. Penonton TVRI umumnya bisa menerima siaran stasiun
pemancar, atau stasiun relay, dalam jarak beberapa puluh
kilometer saja. Ini sekalipun ada satelit Palapa.
Pancaran siaran televisi masih harus, melalui Palapa, diterima
oleh sejumlah stasiun bumi yang tersebar letaknya. Stasiun bumi
kemudian memancarkannya ke stasiun TVRI setempat. Siaran itu
kemudian "baru diterima di rumah," ujar Ir. Bratahalim, Kepala
Sub Direktorat Pembinaan Teknik Telekomunikasi, Ditjen Postel.
"Ini dinamakan sistem rebroadcast."
Kini muncul sistem baru, direct broadcast. "Siaran dengan
sistem ini, walaupun tidak dipancarkan lagi oleh TVRI," ujar
Bratahalim lagi, "langsung bisa diterima di rumah." Ini
dimungkinkan oleh perkembangan teknologi satelit komunikasi,
terutama bila ada penyebaran berbagai komponen elektronis dengan
harga relatif murah, hingga terjangkau semakin banyak orang.
Dengan sistem direct broadcast ini siaran televisi bisa
menjangkau penduduk di berbagai daerah terpencil, meniadakan
keperluan membangun jaringan stasiun bumi yang mahal. Lebih
sederhana halnya. Sebaliknya, seperti dikemukakan Menpen Ali
Moertopo dalam Rakopim (Rapat Koordinasi Pimpinan) TVRI ke-3
(Desember lalu) di Surabaya, mungkin timbul ancaman bagi negara.
"Mau tidak mau, teknologi baru itu akan mendobrak konsep yang
terkontrol yang dilakukan pemerintah sekarang," ujar Menpen.
Indonesia memang tidak menganut konsep free flow of information
(arus bebas informasi), terutama di bidang siaran televisi. Saat
ini TVRI hanya punya saluran 8 dan 6. Keduanya praktis sama.
Penduduk Indonesia di Kepulauan Riau masih punya pilihan lain.
Wilayah itu terjangkau oleh pancaran stasiun televisi dari
Malaysia dan Singapura.
Sebenarnya siaran asing bisa juga diterima oleh penonton di lain
bagian di Indonesia. Terutama dari Malaysia, Thailand dan
Filipina yang juga menyewa fasilitas satelit Palapa. Tapi untuk
menangkapnya langsung dari Palapa itu tidak cukup hanya dengan
antena khusus. "Mesti ada juga sejumlah peralatan khusus yang
sifatnya mengubah frekuensi yang dipancarkan oleh satelit," ujar
Bratahalim.
Kini berbagai peralatan itu tersedia di pasaran bebas negara
lain dengan harga relatif murah. Hanya tidak di Indonesia.
Pernah sebuah perusahaan elektronika Belanda, Huoma BV,
memamerkan di Jakarta sejumlah peralatan menangkap siaran
televisi dari satelit, tapi tidak ada kelanjutan pemasarannya.
"Waktu itu saya sudah teken kontrak untuk membeli 40 unit," ujar
seorang pengusaha di Jakarta. Ia berkesimpulan kemudian bahwa
ada larangan tidak tertulis, hingga kontraknya batal. Menurut
rencana, harga penjualannya "hanya Rp 5 juta," termasuk jasa
pemasangannya.
Bisa ditangkap dengan peralatan itu segala siaran televisi yang
melalui SKSD Palapa. Tak hanya itu. Bila antenanya diarahkan ke
satelit komunikasi Intelsat IV dan V yang bergelantungan di atas
Samudra Indonesia, 36.000 km di atas khatulistiwa, hampir semua
siaran tv dari puluhan negara pemakai satelit itu niscaya bisa
ditangkap. "Saya sudah membuktikan itu dalam percobaan antena
dan peralatan tadi," ujar pengusaha tadi, seorang insinyur
elektronika.
Semua pesawat penerima televisi yang terdapat di pasaran bisa
dipakai untuk itu asalkan ada antena khusus serta sejumlah
peralatan pengubah frekuensi. Antena itu merupakan antena
reflektor parabol atau antena piringan cekung, berdiameter 3m.
Pada "titik api" antena piringan itu terpasang alat yang
menghimpun semua pantulan pancaran dari permukaan dinding
piringan itu. Alat ini berfungsi untuk selain menghimpun, juga
memperkuat signal yang dipancarkan satelit dengan frekuensi
beberapa GHz (GigaHerz = milyar Herz).
Selanjutnya sinyal berfrekuensi tinggi itu diterima oleh alat
penurun frekuensi atau down-amplifier. Di alat ini frekuensi
tinggi diturunkan menjadi frekuensi dalam orda MHz (MegaHerz =
juta Herz). Selanjutnya alat ini memperkuat lagi sinyal dan
mengirimnya kepada konverter atau alat pengubah frekuensi hingga
bisa diterima pesawat tv biasa. "Waktu itu saya menggunakan
saluran 2 pada pesawat tv biasa, ujar pengusaha tadi.
Di Amerika Serikat sistem direct broadcast berkembang sejak awal
dasawarsa ini. Sekitar 30 sampai 50 ribu antena piringan kecil
serta peralatan pengubah sudah digunakan di sana. Setiap bulan
jumlahnya bertambah dengan sekitar 2.500. Jepang baru akan
memakai sistem ini setelah peluncuran satelit komunikasi
miliknya tahun ini.
TAPI sistem ini masih menimbulkan kontroversi. Juga di Eropa
Barat tempat banyak stasiun televisi dikendalikan oleh
pemerintah. Tapi mereka bukan terlalu mengkhawatirkan pengaruh
negatif di bidang sosio-budaya, melainkan karena tampak
persaingan secara komersial. Kini baru Luxemburg mengizinkan
sebuah perusahaan swasta memulai operasi direct broadcast
television itu. Tapi negara itu begitu kecil, hingga pancaran
satelitnya diduga akan menimbulkan problem dengan negara
tetangganya.
Uni Soviet dan negara sekutunya juga menghadapi problem dengan
sistem direct broadcast. Terutama pertimbangannya karena
khawatir akan pengaruh politik dan sosio-budaya. Karenanya dalam
forum PBB Uni Soviet bergabung dengan banyak negara Dunia
Ketiga, menuntut larangan internasional bagi direct broadcast
yang melampaui perbatasan nasional sebuah negara.
Menurut Ir. Arifin, Kepala Sub Dit. Bina Teknik TVRI yang juga
ikut dalam Rakopim di Surabaya, walaupun dalam persepakatan
internasional ada ketentuan bahwa setiap direct broadcast itu
hanya digunakan untuk negara yang memasangnya, spill-over bisa
terjadi. Kalau pesawat tv di Indonesia mempunyai kemungkinan
untuk menerima siaran secara langsung dari negara lain, katanya,
kita bisa kecipratan siaran yang mungkin tidak sesuai dengan
kebudayaan kita."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo