Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sains

Bisa kecipratan siaran asing

Teknologi baru (sistem direct broadcast) memungkinkan pesawat TV biasa menangkap siaran langsung dari satelit palapa, bahkan intelsat, tak perlu via stasiun bumi. (ilt)

15 Januari 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ORANG kita bisa saja mendengarkan siaran radio dari seluruh penjuru dunia. Dan bila pesawat radio dilengkapi antena khusus, niscaya jangkauannya tak terbatas. Tapi bagi siaran televisi masalahnya agak lain. Perkembangan teknologi televisi di Indonesia masih setara dengan teknologi radio sebelum Perang Dunia II. Penonton TVRI umumnya bisa menerima siaran stasiun pemancar, atau stasiun relay, dalam jarak beberapa puluh kilometer saja. Ini sekalipun ada satelit Palapa. Pancaran siaran televisi masih harus, melalui Palapa, diterima oleh sejumlah stasiun bumi yang tersebar letaknya. Stasiun bumi kemudian memancarkannya ke stasiun TVRI setempat. Siaran itu kemudian "baru diterima di rumah," ujar Ir. Bratahalim, Kepala Sub Direktorat Pembinaan Teknik Telekomunikasi, Ditjen Postel. "Ini dinamakan sistem rebroadcast." Kini muncul sistem baru, direct broadcast. "Siaran dengan sistem ini, walaupun tidak dipancarkan lagi oleh TVRI," ujar Bratahalim lagi, "langsung bisa diterima di rumah." Ini dimungkinkan oleh perkembangan teknologi satelit komunikasi, terutama bila ada penyebaran berbagai komponen elektronis dengan harga relatif murah, hingga terjangkau semakin banyak orang. Dengan sistem direct broadcast ini siaran televisi bisa menjangkau penduduk di berbagai daerah terpencil, meniadakan keperluan membangun jaringan stasiun bumi yang mahal. Lebih sederhana halnya. Sebaliknya, seperti dikemukakan Menpen Ali Moertopo dalam Rakopim (Rapat Koordinasi Pimpinan) TVRI ke-3 (Desember lalu) di Surabaya, mungkin timbul ancaman bagi negara. "Mau tidak mau, teknologi baru itu akan mendobrak konsep yang terkontrol yang dilakukan pemerintah sekarang," ujar Menpen. Indonesia memang tidak menganut konsep free flow of information (arus bebas informasi), terutama di bidang siaran televisi. Saat ini TVRI hanya punya saluran 8 dan 6. Keduanya praktis sama. Penduduk Indonesia di Kepulauan Riau masih punya pilihan lain. Wilayah itu terjangkau oleh pancaran stasiun televisi dari Malaysia dan Singapura. Sebenarnya siaran asing bisa juga diterima oleh penonton di lain bagian di Indonesia. Terutama dari Malaysia, Thailand dan Filipina yang juga menyewa fasilitas satelit Palapa. Tapi untuk menangkapnya langsung dari Palapa itu tidak cukup hanya dengan antena khusus. "Mesti ada juga sejumlah peralatan khusus yang sifatnya mengubah frekuensi yang dipancarkan oleh satelit," ujar Bratahalim. Kini berbagai peralatan itu tersedia di pasaran bebas negara lain dengan harga relatif murah. Hanya tidak di Indonesia. Pernah sebuah perusahaan elektronika Belanda, Huoma BV, memamerkan di Jakarta sejumlah peralatan menangkap siaran televisi dari satelit, tapi tidak ada kelanjutan pemasarannya. "Waktu itu saya sudah teken kontrak untuk membeli 40 unit," ujar seorang pengusaha di Jakarta. Ia berkesimpulan kemudian bahwa ada larangan tidak tertulis, hingga kontraknya batal. Menurut rencana, harga penjualannya "hanya Rp 5 juta," termasuk jasa pemasangannya. Bisa ditangkap dengan peralatan itu segala siaran televisi yang melalui SKSD Palapa. Tak hanya itu. Bila antenanya diarahkan ke satelit komunikasi Intelsat IV dan V yang bergelantungan di atas Samudra Indonesia, 36.000 km di atas khatulistiwa, hampir semua siaran tv dari puluhan negara pemakai satelit itu niscaya bisa ditangkap. "Saya sudah membuktikan itu dalam percobaan antena dan peralatan tadi," ujar pengusaha tadi, seorang insinyur elektronika. Semua pesawat penerima televisi yang terdapat di pasaran bisa dipakai untuk itu asalkan ada antena khusus serta sejumlah peralatan pengubah frekuensi. Antena itu merupakan antena reflektor parabol atau antena piringan cekung, berdiameter 3m. Pada "titik api" antena piringan itu terpasang alat yang menghimpun semua pantulan pancaran dari permukaan dinding piringan itu. Alat ini berfungsi untuk selain menghimpun, juga memperkuat signal yang dipancarkan satelit dengan frekuensi beberapa GHz (GigaHerz = milyar Herz). Selanjutnya sinyal berfrekuensi tinggi itu diterima oleh alat penurun frekuensi atau down-amplifier. Di alat ini frekuensi tinggi diturunkan menjadi frekuensi dalam orda MHz (MegaHerz = juta Herz). Selanjutnya alat ini memperkuat lagi sinyal dan mengirimnya kepada konverter atau alat pengubah frekuensi hingga bisa diterima pesawat tv biasa. "Waktu itu saya menggunakan saluran 2 pada pesawat tv biasa, ujar pengusaha tadi. Di Amerika Serikat sistem direct broadcast berkembang sejak awal dasawarsa ini. Sekitar 30 sampai 50 ribu antena piringan kecil serta peralatan pengubah sudah digunakan di sana. Setiap bulan jumlahnya bertambah dengan sekitar 2.500. Jepang baru akan memakai sistem ini setelah peluncuran satelit komunikasi miliknya tahun ini. TAPI sistem ini masih menimbulkan kontroversi. Juga di Eropa Barat tempat banyak stasiun televisi dikendalikan oleh pemerintah. Tapi mereka bukan terlalu mengkhawatirkan pengaruh negatif di bidang sosio-budaya, melainkan karena tampak persaingan secara komersial. Kini baru Luxemburg mengizinkan sebuah perusahaan swasta memulai operasi direct broadcast television itu. Tapi negara itu begitu kecil, hingga pancaran satelitnya diduga akan menimbulkan problem dengan negara tetangganya. Uni Soviet dan negara sekutunya juga menghadapi problem dengan sistem direct broadcast. Terutama pertimbangannya karena khawatir akan pengaruh politik dan sosio-budaya. Karenanya dalam forum PBB Uni Soviet bergabung dengan banyak negara Dunia Ketiga, menuntut larangan internasional bagi direct broadcast yang melampaui perbatasan nasional sebuah negara. Menurut Ir. Arifin, Kepala Sub Dit. Bina Teknik TVRI yang juga ikut dalam Rakopim di Surabaya, walaupun dalam persepakatan internasional ada ketentuan bahwa setiap direct broadcast itu hanya digunakan untuk negara yang memasangnya, spill-over bisa terjadi. Kalau pesawat tv di Indonesia mempunyai kemungkinan untuk menerima siaran secara langsung dari negara lain, katanya, kita bisa kecipratan siaran yang mungkin tidak sesuai dengan kebudayaan kita."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus