Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Peneliti Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, Dr. Kuncoro Puguh Santoso, drh., M.Kes. telah menemukan pendeteksi dini flu burung atau virus H5N1 dengan pola sitokin yang hanya membutuhkan waktu tiga hari untuk mengetahui adanya virus itu.
"Hal ini bermula dari adanya kesenjangan penanganan kasus flu burung yang terlambat, apalagi di daerah, terutama puskesmas karena para petugas kesehatan merasa gejala flu burung, yaitu flu yang diderita pasien, masih tergolong flu biasa, padahal jika tidak diatasi dengan cepat, pasien tidak akan tertolong lagi," katanya di Surabaya, Selasa, 3 November 2015.
Pada sidang disertasi bertajuk "Pola Sitokin Pada Berbagai Inang yang Diinfeksi Virus H5N1" di Fakultas Kedokteran Hewan (FKH) Unair, Surabaya, ia mengatakan selama ini kesulitan mendiagnosis flu burung sangat memprihatinkan sehingga dengan temuan itu akan bisa menekan angka kematian akibat flu burung.
Caranya adalah dengan pola sitokin yang merupakan gabungan benda respons imun, di antaranya interferon (inf) gama, state 1, dan TNF-Alfa menjadi benang merah.
"Pada dasarnya, jika tubuh ada benda asing, kuman, atau apa pun, akan ada respons suatu protein yang dinamakan sitokin untuk pertahanan awal dan mengendalikan virus yang sudah masuk ke dalam tubuh sehingga puncak virus itu muncul pada tiga hari setelah infeksi. Ketika hal itu kita temukan maka kita berasumsi bisa mendapatkan alat diagnostik yang cepat untuk mendeteksi terjadinya bahwa manusia terinfeksi flu burung atau tidak," paparnya.
Menurut dia, kurangnya pemahaman masyarakat untuk memeriksakan ke Rumah Sakit atau Puskesmas yang menganggap flu yang diderita hanyalah flu biasa, padahal hal itu dideteksi flu burung. Apabila dibiarkan selama tujuh hari, dapat menyebabkan sitokin bertumpuk dengan istilah badai sitokin. Hal ini bisa menimbulkan keadaan memburuk dan pasien meninggal.
"Dalam World Health Organization (WHO) disebutkan ada dua penanganan, yaitu secara suspec yang diperiksa dengan antibodi monoclonal, sedangkan antibodi monoclonal yang spesifik itu baru terbentuk sekitar 10 hari dalam tubuh itu, jika keparahan itu puncaknya pada 10 hari, bisa jadi meninggal. Kemudian penanganan comform bahwa ditemukan virus pada orang tersebut, biasanya baru ditemukan pada hari-hari akhir," ujarnya.
Ia berharap penelitian dengan pola sitokin itu ke depan bisa dikembangkan, misalnya dalam bentuk tester seperti tes kehamilan dengan mengambil gabungan benda respons imun di antaranya interferon (inf) gama, state 1, dan TNF-Alfa yang bisa mendeteksi dengan perbedaan warna untuk memudahkan pendeteksian virus flu burung sejak dini.
Sementara itu, Guru Besar Unair Surabaya, Prof. Dr. drh. Chairul Anwar Nidom M.S., mengatakan angka kematian tertinggi kasus flu burung di Indonesia semakin meningkat hingga saat ini sebesar 83 persen, sedangkan angka kematian secara dunia harus di bawah 50 persen.
Hal inilah yang mendasari penelitian dengan pola sitokin yang diharapkan bisa mendeteksi flu burung sejak dini.
"Virus sulit diketahui, penanganan secara serologis sulit diketahui karena butuh waktu selama 14 hari, karena virus akan berkembang pada jarak waktu 7-10 hari, jika ditangani terlambat maka akan ada risiko yang fatal yang bisa menyebabkan pasien akan meninggal sehingga dengan adanya pola sitokin ini diharapkan dalam waktu tiga hari saja bisa dideteksi adanya virus flu burung pada manusia," tandasnya.
ANTARA
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini