Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sains

Hikayat Beras dan Candu Nasi

Peristiwa dan kebijakan penguasa di masa lalu berujung pada ketergantungan Indonesia terhadap nasi. Jadi sumber banyak masalah.

25 April 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BEBERAPA di antara kita mungkin pernah mendengar ungkapan “belum makan kalau belum makan nasi"—biasanya terlontar untuk menggambarkan kegandrungan masyarakat Indonesia terhadap nasi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ungkapan ini bukan gurauan belaka. Indonesia masuk peringkat keempat negara konsumen nasi terbanyak di dunia. Bahkan, naik-turun harga beras di pasar turut menentukan besaran inflasi pangan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Apa yang kita konsumsi hari ini adalah hasil dari keputusan, kebijakan, dan peristiwa di masa lalu. Ketergantungan kita terhadap beras pun merupakan buah dari berbagai konstruksi sosial dan ekonomi di Indonesia.

Posisi Beras di Zaman Klasik

Mari kita mundur ke zaman ketika padi pertama kali didomestikasi atau dibudidayakan. Menurut penelitian dan bukti arkeologis, padi pertama kali didomestikasi di Cina, khususnya di lembah Sungai Yangtze sekitar 9.000 tahun SM.

Ada debat mengenai apakah budi daya padi dimulai di India atau Cina. Yang jelas, migrasi penduduk berperan penting dalam penyebaran padi ke Asia bagian timur. Dari Cina, pertanian padi menular ke Jepang, kemudian ke Taiwan, Filipina, Sulawesi, dan akhirnya ke Jawa.

Budi daya padi di Pulau Jawa diperkirakan dimulai sekitar 500 tahun SM. Kondisi geografis Jawa, dengan struktur tanah yang subur, iklim yang stabil, dan pengaruh dari gunung berapi, mendukung pertumbuhan padi.

Relief Karmawibhangga di Candi Borobudur, Jawa Tengah, yang turut memperlihatkan aktivitas pertanian padi di sawah. (Balai Konservasi Candi Borobudur)

Budi daya padi di Jawa yang meluas kemudian membentuk kebudayaan dan ritual yang sangat terkait dengan keberadaan padi saat itu. Catatan sejarah mengenai padi banyak ditemukan dalam prasasti-prasasti dari zaman kerajaan Hindu-Buddha, termasuk di relief Candi Borobudur di Magelang, Jawa Tengah.

Meski sawah marak, padi bukanlah satu-satunya sumber karbohidrat di masa itu. Relief Candi Borobudur, yang dibangun antara abad ke-8 dan ke-9 Masehi, juga mengungkapkan bahwa masyarakat di sekitar Jawa Tengah saat itu turut melahap berbagai jenis makanan sebagai sumber karbohidrat, seperti jewawut, pisang, sukun, dan talas. Ada juga berbagai jenis tanaman palem-paleman, seperti sagu, nipah, aren, dan lontar.

Sebelum padi menjadi komoditas utama di Indonesia, masyarakat di luar Jawa juga mengandalkan berbagai jenis makanan, seperti umbi-umbian, sukun, pisang, dan sagu, sebagai sumber karbohidrat utama. Masyarakat Papua, misalnya, mengkonsumsi sagu sebelum beras dibudidayakan di Indonesia. Sagu merupakan sumber pangan tertua yang dikonsumsi masyarakat Indonesia, selain pisang dan umbi-umbian.

Ekspansi Padi di Tiga Zaman

Bagaimana konsumsi beras di Indonesia mengalami perkembangan selama periode kolonial, Orde Lama, dan Orde Baru?

Selama masa penjajahan Belanda di Indonesia, pertanian padi sangat terkonsentrasi. Tanah-tanah yang subur dikuasai oleh pihak kolonial atau para tuan tanah Belanda sehingga masyarakat pribumi lebih diarahkan untuk menanam padi. Situasi ini meningkatkan konsumsi beras di kalangan masyarakat Indonesia dan beras menjadi makanan pokok utama.

Setelah kemerdekaan Indonesia, konsumsi beras terus meningkat. Di bawah kepemimpinan Presiden Sukarno, pemerintahan Orde Lama mengedepankan swasembada pangan, termasuk beras, sebagai salah satu tujuan utama pertanian Indonesia.

Upaya intensif dilakukan untuk meningkatkan produksi beras di Indonesia antara lain Rencana Kasimo (1948-1950) dan rencana produksi beras yang terpusat atau Padi Sentra (1959-1961). Namun keduanya gagal karena situasi politik dalam negeri tidak stabil, di samping masalah keterbatasan anggaran, kesulitan logistik, dan strategi harga yang gagal.

Presiden Sukarno saat bercengkerama dengan warga di sawah. (Arsip Nasional RI)

Perubahan paling signifikan dalam konsumsi dan produksi beras terjadi pada masa pemerintahan Orde Baru. Presiden Soeharto menerapkan Kebijakan Revolusi Hijau untuk meningkatkan produksi pertanian, termasuk beras. Program ini mencakup penggunaan varietas padi yang lebih unggul, penggunaan pupuk dan pestisida, serta pengembangan infrastruktur pertanian.

Pemerintahan Orde Baru juga menggagas program transmigrasi untuk mencetak sawah di luar Jawa. Salah satunya adalah Proyek Lahan Gambut (PLG) Sejuta Hektare yang ditetapkan melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 82 Tahun 1995 yang menempatkan Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah, sebagai lokasi pembukaan sawah baru seluas 3.000 hektare.

Kebijakan Suharto berhasil menggenjot produksi beras sehingga pada 1984, Indonesia bisa memenuhi kebutuhan berasnya sendiri. Produksi beras nasional pada tahun tersebut mencapai 27 juta ton dengan konsumsi dalam negeri sebesar 25 juta ton.

Menimbang Ulang Dampak Beras

Kesukaan terhadap beras di Indonesia tidak hanya dipengaruhi oleh inisiatif masyarakat, tapi juga melalui campur tangan pemerintah.

Namun usaha pemerintah patut dikaji ulang. Sebab, beras juga menjadi sumber masalah kerentanan pangan. Setiap musim tanam, tanaman padi rentan mengalami kekeringan, banjir, serta fluktuasi cuaca, seperti El Nino, yang sempat terjadi belakangan ini. Ancaman tersebut dapat berdampak serius terhadap penghidupan petani padi.

Di sisi lain, produksi beras menyumbang sekitar 22 persen dari total emisi gas metana global—salah satu gas rumah kaca. Pertanian padi juga tergolong rakus air, dengan kebutuhan 1.000-2.700 liter air untuk 1 kilogram padi.

Selain itu, perlu disadari bahwa tidak semua lahan atau tanah di Indonesia cocok untuk penanaman padi. Sekalipun cocok, hasil dan kualitas panennya mungkin tidak akan sebanding dengan tanaman yang ditanam di lahan yang memang sesuai.

Ketergantungan kita terhadap beras juga dapat berdampak pada kesehatan masyarakat, yakni meningkatkan risiko penyakit degeneratif, seperti obesitas, diabetes, dan penyakit jantung.

Bisakah Kita Mengurangi Nasi?

Usaha mengurangi ketergantungan terhadap satu jenis pangan sebenarnya sudah dimulai sejak Orde Baru.

Pada dekade 1970-an, pemerintah Indonesia menggencarkan kampanye diversifikasi pangan sebagai upaya untuk mengurangi ketergantungan pada beras. Instruksi presiden 1979 menggarisbawahi pentingnya diversifikasi pangan dalam rangka meningkatkan gizi masyarakat.

Namun upaya ini terbentur program swasembada beras yang menjadi fokus pemerintah saat itu. Akibatnya, kebijakan ini tidak pernah berhasil menurunkan konsumsi beras. Kalaupun tingkat konsumsi beras menurun, adanya kebijakan impor gandum menjadikan masyarakat memilih gandum dibanding pangan nonberas lainnya, seperti ubi atau singkong.

Petani menyelamatkan padi yang terendam banjir di areal persawahan Desa Temuroso, Kabupaten Demak, Jawa Tengah, 20 Maret 2024. TEMPO/Budi Purwanto

Kebijakan diversifikasi pangan juga tidak diikuti dengan keseriusan pemerintah mengembangkan teknologi pengolahan pangan nonberas. Teknologi penting untuk memudahkan kita mengakses pangan nonberas.

Diversifikasi pangan secara efektif, terutama untuk menggalakkan pangan lokal, tak bisa hanya bermodalkan slogan dan instruksi presiden. Pemerintah perlu serius mengelola dari hulu ke hilir potensi pangan lokal setiap daerah. Keseriusan dalam meningkatkan input pertanian sampai pada pengolahan pascapanen perlu digalakkan untuk komoditas-komoditas lokal. Ini juga termasuk penguatan kelembagaan untuk mengelola lumbung pangan berbasis masyarakat.

Indonesia sangat bisa memanfaatkan lahan suboptimal guna menanam berbagai jenis tanaman alternatif, seperti sagu. Beberapa wilayah di Indonesia, seperti di Nusa Tenggara Timur dan Papua, memiliki potensi besar untuk memperkaya pasokan pangan nonberas.

Penting untuk diingat bahwa tujuan diversifikasi pangan bukan untuk melarang konsumsi nasi, melainkan untuk memperkaya variasi makanan dalam pola konsumsi sehari-hari. Pemerintah dapat mempromosikan kesadaran akan manfaat diversifikasi pangan di tingkat rumah tangga melalui kampanye "gizi seimbang dengan pangan lokal.”

Kampanye ini dapat bertujuan mendorong masyarakat mengintegrasikan berbagai jenis makanan dalam pola makan sehari-hari. Beberapa di antaranya bisa dijalankan di tiap-tiap posyandu dalam menggalakkan gizi seimbang untuk 1.000 hari pertama kelahiran (HPK).

Usaha mengurangi ketergantungan pada nasi dengan mengelola pangan lokal dari hulu ke hilir secara serius dan promosi keberagaman pangan adalah langkah penting agar sistem pangan lebih berkelanjutan dan seimbang. Kita juga bisa meredam kekhawatiran terhadap naik-turun pertanian padi berikut dampak lingkungannya.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation Indonesia.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus