Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MALAYSIA hari-hari ini menjadi berita. Polisi menangkap sejumlah tokoh politik, pemuka masyarakat, dan penjual sayur -- kebanyakan turunan Cina dan India. Empat surat kabar berpengaruh juga dibungkam. Hal semacam ini belum pernah terjadi selama 30 tahun negara kerajaan itu merdeka (lihat: Laporan Utama). Kejadian ini pun segera mengundang banyak komentar. "Bapak Bangsa" Tunku Abdul Rahman Putra, misalnya, mengecamnya sebagai tingkah seorang "diktator" dan merusakkan sistem yang selama ini berjalan di negeri yang berpenduduk 15 juta jiwa lebih itu. Polisi mengungkapkan ada kelompok masyarakat yang menciptakan suasana rusuh, dengan mengipas perbedaan ras dan agama. Pengalaman rawan itu pernah dirasakan pada bentrokan rasial 13 Mei 1969, antara Melayu dan Cina. Korbannya 500 orang. Akibat adanya kelompok yang "main api" kali ini, korban tercatat satu mati akibat "peluru nyasar". Di Tanah Semenanjung, orang Melayu dan keturunan Cina sebenarnya sudah lama berhubungan. Jalan dirintis oleh Admiral Cheng-Ho -- yang berkunjung ke Melaka pada 1409 menemui Raja Iskandar Syah. Kunjungan itu membuahkan perjanjian: Kaisar Cina memberi perlindungan bagi penguasa Semenanjung, terutama di Melaka (didirikan oleh Parameswara dari Jawa) dan Temasek (sekarang: Singapura). Tapi baru pada abad ke-18 imigran Cina mulai mara ke Tanah Semenanjung, melalui Pulau Pinang. Mereka meneruskan hutan dan menambang timah. Ketika perkebunan mulai berkembang, berdatangan pula imigran dari India (Tamil, Benggali, Sikh). Sedangkan lima abad sebelumnya, ke sana datang para penyebar agama Islam dari Jazirah Arab dan India. Sejak itu agama Islam berkembang pesat di bawah pemerintahan raja-raja Melayu selama 200 tahun. Lalu, masyarakat majemuk itu pun berkembang-biak di Tanah Semenanjung seraya tetap menjaga cirinya masing-masing. Kebudayaan negeri leluhur tetap mereka pegang ketat. Agama, adat istiadat, bahasa, dan corak pakaian memang menampilkan ragam warna yang menarik, tapi juga dilirik oleh sebagian kelompok masyarakat sebagai bahan pertikaian. Apakah hal itu tak mungkin lebur dikikis waktu? Inilah yang sedang dihadapi negeri jiran kita itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo