Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Seni

Epigrafis Riboet Darmoesoetopo Terima Penghargaan Borobudur Writers

Tahun ini Borobudur Writers and Cultural Festival mengambil tema Bhumisodana yang punya arti tanah yang disucikan.

23 November 2020 | 21.26 WIB

Epigrafis Riboet Darmoesoetopo. Tangkapan gambar Youtube
Perbesar
Epigrafis Riboet Darmoesoetopo. Tangkapan gambar Youtube

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo

TEMPO.CO, Yogyakarta - Epigrafis Riboet Darmoesoetopo mendapat penghargaan dari Borobudur Writers and Cultural Festival. Rangkaian acara BWCF digelar secara daring karena pandemi Covid-19.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo

Panitia memberikan apresiasi yang diberi nama Sang Hyang Kamahayanikan Award kepada Riboet karena memberikan kontribusi besar dalam kajian sejarah kuno. Doktor berumur 85 tahun ini merupakan lulusan Jurusan Arkeologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dia telah membaca ratusan prasasti dan menjadi anggota Asosiasi Ahli Epigrafi Indonesia yang menghasilkan berbagai karya tulis. Satu di antara karya pentingnya adalah disertasi yang dia tulis pada 1997 berjudul Hubungan Tanah Sima dengan Bangunan Keagamaan di Jawa pada Abad IX-X. "Buku Pak Riboet sangat membantu untuk memahami tema yang diusung BWCF," kata Kurator Borobudur Writers and Cultural Festival, Romo Mudji Sutrisno, Senin, 23 November 2020.

Tahun ini BWCF mengambil tema Bhumisodana yang punya arti tanah yang disucikan. Riboet menulis buku-buku tentang Sima, yakni tanah yang dibebaskan kewajiban untuk membayar pajak ke kerajaan. Dalam penelitian Riboet Darmoesoetopo, banyak tanah Sima digunakan untuk mendirikan bangunan bangunan suci.

Penghargaan itu diberikan kepada Riboet saat penutupan Borobudur Writers and Cultural Festival ke-9 pada Senin, 23 November 2020. Selain memberikan penghargaan, BWCF juga menggelar pertunjukan bertajuk tribute to Suprapto Suryodarmo dan Ajip Rosidi.

Kurator Borobudur Writers and Cultural Festival, Seno Joko Suyono mengatakan Riboet yang juga anggota Ikatan Ahli Arkeologi merupakan orang yang bekerja dalam sepi. Tapi, dia punya kontribusi besar dalam memahami prasasti-prasasti Mataram kuno. Tidak banyak orang yang mengenal Riboet. "Bekerja tanpa pamrih dan hidup sederhana. Tak ada perhatian dari pemerintah atau siapa saja," kata Seno.

Ayah dari dua anak itu menjadi staf pengajar Jurusan Arkeologi Fakultas Ilmu Budaya UGM sejak 1967 dan penisun pada 2003. Di rumah sederhananya, pakar Bahasa Jawa Kuno ini menerima banyak mahasiswa arkeologi yang berkonsultasi. Banyak kalangan yang menemuinya bila ada penemuan prasasti kuno di sekitar Yogyakarta.

Sang Hyang Kamahayanikan penghargaan yang menjadi ciri khas BWCF. Penghargaan ini diberikan kepada tokoh yang memberikan sumbangan besar dalam mengkaji budaya dan sejarah Nusantara. Penerimanya adalah sejarawan, sastrawan, arkeolog, budayawan, penulis buku berlatar belakang sejarah, dramawan, dalang, rohaniwan, dan filolog. Nama penghargaan itu mengambil dari kitab Buddhis Jawa bernama Sang Hyang Kamahayanikan yang berisikan ajaran peribadatan dan ajaran untuk mencapai kesempurnaan batin dan pikiran menuju sang Jinna, Sang Pemenang atau Sang Penakluk.

Borobudur Writers and Cultural Festival bertajuk Bhumisodhana Ekologi dan Bencana dalam Refleksi Kebudayaan digelar pada 19 - 23 November 2020 secara daring. Selain penghargaan, panitia BWCF menggelar forum call for papers dari sejumlah narasumber yang berlatar di antaranya arkeolog dan sejarawan. Sejarawan yang berbicara di forum itu di antaranya Peter Carey tentang Wabah dalam Perang Diponegoro.

Forum itu menjadi upaya refleksi terhadap berbagai bencana dan pandemi yang terjadi di Nusantara. Harapannya, ada pemahaman dan upaya yang lebih baik dalam menghadapi berbagai bencana dan pandemi. Pandemi tidak sebatas urusan virus yang mematikan, melainkan juga masalah lingkungan, budaya, sosial, dan politik suatu wilayah. Pandemi bisa mendorong dan menciptakan perubahan sosial untuk mencari wujud penyelenggaraan kekuasaan yang lebih baik dalam kekuasaan tradisional maupun modern.

Shinta Maharani

Lulus dari Jurusan Ilmu Hubungan Internasional UPN Yogyakarta. Menjadi Koresponden Tempo untuk wilayah Yogyakarta sejak 2014. Meminati isu gender, keberagaman, kelompok minoritas, dan hak asasi manusia

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus