Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PEKERJAAN mereka memang hanya menyanyi bersama. Modalnya, mulut
yang bisa mencang-mencong dengan luwes. Tentu saja "mulut itu
harus sering dilatih," tutur salah seorang di antara mereka,
"untuk menjaga kekompakan dan penguasaan tinggi-rendah atau
besar-kecil suara."
Dengan modal itulah The Leonine Consort (TLC), grup penyanyi
paduan suara dari Australia, terdiri empat pria dan empat wanita
ini, unjuk kebolehan di Medan, Jakarta dan Denpasar di hari-hari
akhir Februari yang lalu. Hasilnya: memang boleh.
Kelebihan koor, seperti dibuktikan TLC, meski tanpa instrumen
sebiji pun, bisa mengangkat sebuah nyanyian sederhana menjadi
kaya warna. Sebuah nyanyian berasal dari abad ke-16, bercerita
tentang kematian seekor angsa, misalnya Kalau dia mati nanti,
kata angsa itu, "yang tinggal hanyalah angsa-angsa buruk, yang
bodoh, jauh dari bijaksana." Itulah Angsa Perak ciptaan Orlando
Gibbons (1583-1648).
Disentuh Disain
Tapi yang tampil di Studio RRI Jakarta Kamis pekan lalu, lebih
dari itu. Seolah kita saksikan sendiri seekor angsa sedang
beenang di sebuah danau besar yang sejuk. Bunyi kepak sayap
memukul air, bunyi desir air tersibak cakar, seperti hadir
dengan nyata. Dan keangkuhan angsa perak itu dengan indah
menjelma dalam diri ke-8 orang anggota TLC yang berderet rapi di
panggung. Mereka tak hanya buka suara. Kadang ada gelengan
kepala, gerakan bahu, tangan atau sedikit hentakan kaki.
Grup ini berdiri 1964 di Sydney. Pada mulanya mereka berkumpul
lebih hanya sebagai pengisi waktu senggang saja. Baru 14 tahun
kemudian, 1978, TLC menjadi grup yang benar-benar profesional.
Tiga anggotanya yang menjadi guru sekolah tak lagi mengajar. Dua
yang bekerja keluar dari pekerjaannya. Dan dua anggota yang
masih mahasiswa dengan ikhlas tak melanjutkan kuliahnya. Juga si
Charles Colman, 45-an tahun, pimpinan TLC, berhenti dari
berbagai jabatan pimpinan musik, sepenuhnya hanya mengelola grup
ini.
Hasilnya, selama tiga tahun terakhir ini mereka konon dikenal di
seantero sudut Australia. Dua piringan hitam, Balmain Collection
dan Jump Down Turn Aound, dua album berisi nyanyian rakyat
sampai dengan lagu-lagu ciptaan komponis dunia macam Bach dan
Monteverdi, muncul. Dan tahun ini, untuk pertama kalinya, dengan
biaya dari Pemerintah Australia TLC keliling ke negara ASEAN.
Itu semua berhasil diraih oleh ke-8 penyanyi itu dengan disiplin
tinggi. Minimal tiga jam tiap hari mereka berlatih bersama.
Untunglah, kedelapan mereka tinggal di Sydney.
Mereka telah mempunyai koleksi sekitar 150 lagu berasal dari
abad ke-15 sampai kini, dari berbagai negara Eropa, Amerika dan
Australia sendiri.
Toh, dengan popularitas seperti itu, dengan 150 kali pertunjukan
selama tiga tahun, TLC tak bisa hidup dari penjualan karcis.
"Kami mendapat sumbangan uang dari pemerintah," tutur Colman.
Berapa besarnya? Dengan agak sungkan, lelaki berambut tipis,
berkacamata, dengan tinggi tak lebih 160 cm, menjawab:
"Kira-kira 40% pendapatan kami berasal dari sumbangan itu."
Maka kesederhanaan mereka mungkin memang suatu keharusan. Tapi
dengan hanya kemeja pendek putih atau merah jambu dan celana
warna kuning-kecoklatan -- bagi yang pria -- dengan rok
berpotongan biasa-biasa saja dengan warna hitam atau putih --
bagi yang wanita -- terasa kesederhanaan di situ disentuh
disain.
Ini sesuai dengan yang mereka bawakan. Lagu-lagu rakyat,
sebagian besarnya, memang lagu-lagu sederhana. Lagu yang bisa
didendangkan seorang anak gembala di tengah padang tanpa harus
dipelajari dengan susah payah. Tapi, tentu saja, tak berarti tak
ada keindahan atau sesuatu yang lain muncul dari itu. Apalagi
kalau memang ada disain -- rencana untuk mengembangkan apa yang
simpel itu.
Maka lagu Sambalele dari India Barat bisa sangat lucu dibawakan
TLC. Lagu itu berkisah tentang seorang muda yang mencoba menarik
perhatian seorang gadis. Ia mencoba mendapatkan sebuah mangga,
dengan melempar batu mangga itu -- tapi malang batu yang
dilemparkannya jatuh mengenai kepalanya sendiri. Ia mencoba
menangkap kelinci dengan perangkap, tapi kakinya sendirilah yang
terperangkap. Dan ketika ia mencoba menjadikan tubuhnya tinggi,
dengan egrang, justru ia terjungkir -- kepalanya membentur
tanah.
Dan sesungguhnya: salah satu keberuntungan TLC ialah mereka bisa
mendapatkan lagu-lagu dengan lirik sederhana, tapi kena. Ini
mengingatkan kita pada Ebiet, Franky & Jane, Gombloh atau Leo
Kristi -- dengan segala perbedaannya, tentu --yang mengesan
karena liriknya yang menarik.
Colman, pimpinannya, memang sarjana musik dari Universitas
Sydney. Kemudian berpengalaman memimpin berbagai grup musik
koor. Nampakra ia puas dengan penonton Jakarta malam itu, yang
tak malu-malu ikut bertepuk tangan ketika sebuah lagu memang
membutuhkan tepuk tangan banyak orang.
Mengapa Leonine Consort? Inilah tutur Colman. Consort, katanya
adalah kelompok kecil pertunjukan. Dan Leonine, diambil dari
nama Leoninus, komponis yang hidup di Paris di abad ke-12, yang
konon pertama kali meng khususkan diri mencipta musik untuk
koor. "Kami percaya bahwa tradisi yang dimulai Leoninus dan
kawan-kawannya masih berkembang sampai kini," kata Colman pula.
Ada komentar dari Soebronto K. Atmodjo, pelatih paduan suara
Swarna Gita: "Mengagumkan. Kecuali kompak, kemampuan musikal
masing-masing juga hebat." Kecuali itu, ia pun kagum pada
penguasaan repertoar dari TLC ini. Ini mengingatkan kepada Remy
Silado yang pernah mengeluh ketika menyiapkan Jesus Sang Bintang
tempo hari. Kecuali susah mencari penyanyi yang bersuara tinggi,
ia pun kesal dengan kemampuan interpelasi para penyanyi kita
terhadap lirik yang sedikit di atas lirik lagu pop.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo