Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Sutrada Nia Dinata berpendapat perfilman Indonesia belum merdeka dari sensor. "Belum merdeka dari nilai-nilai para individu yang mengatasnamakan kelompok tertentu yang lebih sering menghakimi," kata dia di Djakarta Theater, Senin, 14/8.
Kelompok yang gemar menghakimi itu, kata Nia Dinata, enggan membuka diri menerima kebebasan berekspresi para seniman yang mungkin out of the box, Dia menganggap perfilman Indonesia masih terkekang.
Nia Dinata berpendapat, ketimbang pada menyensor lebih baik dilakukan sistem kalsifikasi terhadap film. “Klasifikasi umur harus jelas. Semua lini perindustrian mulai dari bioskop atau TV harus mencantumkan klasifikasi umur,” katanya.
Dengan demikian, ia melanjutkan, masing-masing penonton sudah diberi peringatan apakah tayangan yang akan mereka tonton layak dan sesuai dengan umur mereka. “Sebagai orang tua, kalau anaknya masih dibawah umur 17 ya mesti diawasi."
Sedang bagi yang mereka yang berusia 17 tahun keatas, sudah dianggap dewasa. "Mereka sudah punya KTP, sudah bisa ikut pemilu. Artinya, mereka sudah bisa memilih,” ujar wanita kelahiran Jakarta, 4 Maret 1969 ini.
Menurutnya, usulan ini telah disampaikan sejak 11 tahun yang lau. “Sudah ada, kok, yang mengikuti beberapa negara yang juga menerapkan klasifikasi ini. Sebetulnya tinggal diikuti saja,” ujar Nia.
Nia Dinata adalah sutradara film yang sering memproduksi film-film bertema kontroversial. Beberapa filmnya, antara lain, Berbagi Suami, Arisan!, dan Ini Kisah Tiga Dara.
DINI TEJA
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini