Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teroka

Roman yang Disita Belanda

Jarang diketahui Wage Rudolf Supratman, pencipta lagu “Indonesia Raya”, menulis roman. Belum sempat beredar.

1 Januari 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Roman Perawan Desa karangan W.R. Supratman.

  • Tak banyak diketahui pencipta lagu “Indonesia Raya” ini menulis roman.

  • Buku ini diterbitkan sendiri sebanyak 2.000 eksemplar, tapi belum sempat beredar karena disita Belanda.

NOVEL Wage Rudolf Supratman dimulai dari sebuah vakansi pada 1920-an. Dua perempuan terpelajar, Sitti Adminah, yang kerap dipanggil Mintje, dan Sarlilah secara tak sengaja berbarengan berada di satu gerbong kereta dari Stasiun Gambir, Batavia, menuju Bandung. Mereka tamatan Meer Uitgebreid Lager Onderwijs atau MULO, sekolah menengah pertama Belanda. Mereka hendak pulang ke dusun masing-masing. Sitti berasal dari Ciharum dan Sarlilah dari kawasan Cihapit—keduanya desa di pinggiran Bandung.     

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Di kereta yang saat itu disebut sneltrein tersebut, mereka bertemu dengan seorang pemuda tampan yang semula mereka pikir berdarah Belanda. Tapi pemuda itu mengaku sebagai pribumi totok bernama Raden Soebagio. Gaya bicaranya elegan dan sopan. Dan ia terlihat punya banyak uang serta royal. Ia membelikan kue-kue dan es cokelat. Di kereta, sang gentleman membaca koran Melayu, Sin Po, dan mengaku tak suka membaca koran Belanda. Sitti, yang kebarat-baratan dan indekos di rumah keluarga Belanda di Batavia, dibuatnya heran.  

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Roman yang ditulis Wage Rudolf Supratman itu berjudul Perawan Desa. Struktur novel terdiri atas 29 bab pendek-pendek. Delapan bagian awal mengisahkan perjalanan di dalam kereta. W.R. Supratman menampilkan dialog tiga tokoh utamanya dengan banyak kosakata Belanda. Ia pun mendeskripsikan panorama dari balik jendela kereta: sungai-sungai kecil, bukit berleret-leret, stasiun-stasiun dengan penjaja es puter. Juga adegan cekcok penumpang Belanda yang rasialis melawan penumpang pribumi ketika berebut tempat duduk. Meski uraian bab-babnya seperti kilasan-kilasan singkat, penggambarannya cukup hidup.

Dalam sejarah sastra Indonesia, jarang sekali diinformasikan bahwa W.R. Supratman adalah penulis roman. Sebelum terlibat dalam pergerakan, W.R. Supratman dikenal publik sebagai pemain biola, pernah bergabung dalam Black and White Jazz Band. Unsur kesenimanannya sebagai pemusik lebih diketahui publik.  Padahal sesungguhnya ia juga jurnalis dan penulis. Ia, misalnya, pernah bekerja sebagai wartawan Sin Po. Sejak menciptakan “Indonesia Raya”, W.R. Supratman senantiasa diawasi pemerintah Belanda. Tatkala pada 1929 ia menerbitkan novel, segera novel itu dianggap berbahaya dan dirampas paksa.

Wage Rudolf Supratmna. kemdikbud.go.id

Roman Perawan Desa dicetak W.R. Supratman dengan ongkos sendiri sebesar 125 gulden sebanyak 2.000 eksemplar. Procureur Generaal (Jaksa Agung Belanda) memerintahkan aparat Politieke Inlichtingen Dienst membredel dan menyita semua novel hingga tak ada yang bisa beredar. Penerbit Sinar Hidoep dari Semarang berinisiatif menerbitkan ulang roman ini. Syahdan, saat aparat Belanda merampas roman ini pada 1929, pegawai percetakan masih bisa mengamankan beberapa novel. Penyelamatan itu yang kemudian membuat roman tersebut bisa dibaca sampai masa kini.

Oleh Sinar Hidoep, sampul buku Perawan Desa ini diberi gambar seorang perempuan berkulit cokelat, bergelung, dan berkebaya merah dengan wajah sangat Indonesia. Gambar itu adalah hasil reproduksi lukisan Czeslaw Mystkowski, pelukis Polandia yang pada 1930-an tinggal dan wafat di Indonesia. Ia menetap di kawasan pegunungan di Sindanglaya, antara Bogor dan Cianjur, Jawa Barat. Di sana ia memiliki rumah bambu bergaya Sumatera yang diberi nama Villa Mystkowski. Di situlah ia sehari-hari melukis panorama, lanskap, dan orang-orang desa. Ia meninggal pada usia 40 tahun di sana. Lukisan yang dipilih Sinar Hidoep menjadi sampul Perawan Desa adalah lukisan yang dibuat Mystkowski pada 1928-1932.

Adapun penulisan kata pengantar roman Wage Rudolf Supratman yang diterbitkan ulang dipercayakan Sinar Hidoep kepada Razif, sejarawan dari Institut Sejarah Sosial Indonesia yang menulis buku Bacaan Liar: Budaya dan Politik pada Zaman Pergerakan. Dari segi kritik terhadap kolonialisme, Razif menyejajarkan novel W.R. Supratman antara lain dengan novel Mas Marco Kartodikromo dan Tirto Adhi Soerjo.  

Sebetulnya, dari segi isi, roman ini tak terlalu provokatif, propagandis, atau garang berisi perlawanan. Novel ini lebih pop romantis. Plotnya lurus bercerita tentang perjalanan di kereta dan suasana Ciharum, tempat asal Sitti Adminah. Diceritakan betapa di dusun Sitti, perawan desa yang sudah terbiasa menikmati kehidupan urban, kehilangan keceriaan. Ia teringat pada semua keriuhan Batavia: dari pasar malam, bioskop, sampai taman kota seperti Deca Park di Gambir, tempat dia biasa berpelesir. Dia kangen menonton opera atau volkconcert di Schouwburg (Gedung Kesenian) serta menyaksikan pertunjukan musik di Hotel der Nederlanden.

Karena itu, ketika Raden Soebagio yang Sitti kenal di kereta menjemputnya di desa, ia merasa bebas. Raden Soebagio mengajaknya ke Bandung. Sitti merasa merdeka dari kehidupan desa yang membosankan. Sesuatu yang berakhir antiklimaks karena ternyata Raden Soebagio adalah penipu. Raden Soebagio sesungguhnya orang Belanda. Ia bernama Van Steen dan selama ini dikejar-kejar polisi karena menggelapkan uang perusahaan dalam jumlah besar.

Di sinilah mungkin letak berbahayanya roman ini menurut pemerintah Belanda saat itu. W.R. Supratman menempatkan seorang warga negara Belanda sebagai penipu, orang yang licik dan penuh muslihat. Hal tabu lain adalah dalam roman ini terdapat percakapan mengenai ide-ide kemerdekaan Indonesia. Di bagian akhir, terdapat dialog antara ayah Sitti bernama Karto, seorang petani kaya, dan ayah Sarlilah, Raden Suria, seorang ningrat berwawasan luas pengagum Sun Yat-sen dan Chiang Kai-shek. Mereka berbicara tentang pendidikan dan kemungkinan kemerdekaan bagi Indonesia.

Roman Perawan Desa membuktikan bahwa, sebagaimana gesekan biolanya, goresan pena W.R. Supratman menakutkan bagi Belanda. W.R. Supratman mati muda, pada umur 35 tahun. Ia dipenjara di Kalisosok, Surabaya, karena di stasiun radio Nederlandsch-Indische Radio Omroep Maatschappij yang saat itu berlokasi di Jalan Embong Malang, Surabaya, bersama pandu-pandu Kepanduan Bangsa Indonesia menyiarkan lagu terbarunya, “Matahari Terbit”. Ia ditangkap dan dijebloskan penjara oleh Belanda karena “Matahari Terbit” dianggap sebagai lagu yang mendukung Kekaisaran Jepang. Selepas dari penjara, W.R. Supratman sakit dan wafat pada 17 Agustus 1938 di Jalan Mangga Nomor 21, Tambaksari, Surabaya. W.R. Supratman dikebumikan di permakaman umum Kapasan, Jalan Tambak Segaran Wetan, Surabaya.

Sularto, sastrawan penulis naskah drama terkenal Domba-domba Revolusi, dalam tulisannya pada 1977 yang dimuat ulang sebagai pengantar buku ini melengkapi tulisan Razif, menyebutkan, selain menciptakan Perawan Desa, ada informasi bahwa Wage Rudolf Supratman juga menulis roman Darah Moeda dan Kaoem Fanatiek. Namun kedua roman ini tak diketahui rimbanya. Penerbit Sinar Hidoep pun menyatakan sampai saat ini novel tersebut belum ditemukan. Bila suatu saat dua roman lain pencipta “Indonesia Raya” itu ditemukan, ia makin layak dicatat dalam sejarah sastra Indonesia. 


Novel: Perawan Desa
Pengarang: W.R. Supratman
Penerbit: Sinar Hidoep, Semarang
Tebal: 127 halaman
Cetakan Pertama: November 2021

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Seno Joko Suyono

Seno Joko Suyono

Menulis artikel kebudayaan dan seni di majalah Tempo. Pernah kuliah di Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada. Pada 2011 mendirikan Borobudur Writers and Cultural Festival (BWCF) dan menjadi kuratornya sampai sekarang. Pengarang novel Tak Ada Santo di Sirkus (2010) dan Kuil di Dasar Laut (2014) serta penulis buku Tubuh yang Rasis (2002) yang menelaah pemikiran Michel Foucault terhadap pembentukan diri kelas menengah Eropa.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus