Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Bandung - Seniman Isa Perkasa dan Setiyoko Hadi menghelat pameran bersama dengan judul Critical Faces di Galeri Orbital Dago Bandung, sejak 21 Juni hingga 31 Juli 2022. Kedua seniman jebolan Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung itu membangun ruang kritik lewat aneka gambar sosok dan wajah. “Mereka punya pengalaman yang sama tentang pemilihan presiden dan kontestasi politik,” kata kurator Rifky ‘Goro’ Effendy, Kamis, 23 Juni 2022.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Isa Perkasa, seniman kelahiran Majalengka pada 1964, menggambarkan sosok kaum elite politik dengan setelan jas, dasi, dan sebagian besar berpeci hitam. Bagian wajahnya dibuat rongga besar hingga bisa diisi seekor tikus, kucing, atau celengan ayam. Di sekitarnya berkeliaran ikan-ikan koi sebagai perlambang kemakmuran.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Dari judul-judul karyanya, sedikit banyak mengungkap tema dan narasi yang disampaikan. Misalnya upaya mendulang suara pemilihan dari kalangan ibu-ibu, meminang artis sinetron, atau menggunakan cara tebar uang. Isa menggambarkan fenomena itu dengan nuansa kelam lewat goresan pensil maupun charcoal di atas kanvas maupun kertas.
Sementara Setiyoko Hadi, menyoroti soal perpecahan dari aksi dukung mendukung di acara Pemilihan Presiden. Lingkungan pertemanannya ikut terbelah oleh perbedaan pandangan dan keberpihakan politis. Mereka ribut di media sosial lalu membuat kelompok-kelompok baru. Fenomena sosial itu misalnya digambarkan lewat karya berjudul Penduduk SR (2020).
Karya Setiyoko Hadi di pameran Critical Faces di Galeri Orbital Dago Bandung. (Foto Prima Mulia/TEMPO)
Teknik lain yang digunakannya yaitu dengan merajut dua gambar kertas bergambar para tokoh-tokoh nasional dalam satu bingkai sehingga terjadi efek optis atau silung seperti pada karya Dwi Tunggal (2022). Cara serupa juga dilakukan pada potret teman-temannya yang diberi judul Lukamu Lukaku (2022), yang ditambahi juntaian benang-benang dan jarum menggantung di ujungnya.
Menurut Rifky, kekaryaan garapan Setiyoko menunjukan suatu penjelajahan lanjut pada gambar dan lukisannya. “Seolah dua media utama ini belum cukup baginya untuk mengungkapkan gagasan-gagasan tentang masalah utamanya, yakni tentang perpecahan hubungan antarteman,” kata dia.
Selain itu, Setiyoko mengangkat tema personal dan bernuansa spiritual lewat karya berjudul seperti Titik Temu. Sementara potret dirinya dengan berbagai mimik wajah hitam putih muncul dalam instalasi drawing di atas kertas dan obyek koper pada Evolusi Emosi. Karya instalasi lukisan potret diri yang disertai ikatan pada kanvas dan juntaian benang-benang juga hadir dengan judul Faith Hope Love.
Rifky mengatakan, pameran karya dua seniman itu menyoroti dampak sebagian para elite politik terutama terkait dengan hiruk-pikuk kontestasi seperti pemilu. Pameran juga memperlihatkan bagaimana mereka menjalankan pemerintahan ini, dan pengaruhnya pada kehidupan sosial politik masyarakat Indonesia.
Potret atau wajah-wajah yang ditampilkan menggambarkan suatu kondisi ketika individu atau kelompok-kelompok masyarakat menjadi menjadi obyek, bahkan korban dari suatu sistem politik tertentu. “Bahkan mungkin saja wajah-wajah itu adalah kita sendiri,” katanya.
ANWAR SISWADI
Ikuti berita terkini dari Tempo.co di Google News, klik di sini.