Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teroka

Sebuah film, seorang korban, & ...

Film perawan desa dilarang beredar di yogya, dengan alasan film tersebut akan membawa pengaruh yang tidak baik. perkara ini mengingatkan orang pada skandal di yogya 1970.

4 Oktober 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PERAWAN Desa ditolak beredar di Yogyakarta. Alasannya, demikian suatu Surat Keputusan Wakil Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), film tersebut akan membawa pengaruh buruk bagi pelajar yang menontonnya. Tidak dijelaskan koran Yudha Minggu dan Pos Film terbitan 21 September bilamana keputusan itu ditelurkan. Tak ayal berita tersebut akan mengingatkan kembali pada kejadian hampir tiga tahun lalu. Ketika itu terbetik berita pemerintah daerah - terutama aparat kepolisian--menyatakan keberatan terhadap upaya memfilmkan peristiwa pemerkosaan Sum Kuning, gadis penjual telur. Bila tetap difilmkan, Musyawarah Pimpinan Daerah Yogyakarta juga meminta, agar judul dan jalan ceritanya diubah demikian rupa hingga tak memojokkan suatu pihak. Alasannya, karena film itu hanya akan mengungkap luka pribadi seseorang. Bahkan Ny. Lamyah Moeljatno SH, hakim yang mengadili peristiwa tersebut juga tak menyetujui pembuatan filmnya. Konon film itu dianggapnya hanya akan menguntungkan segelintir orang -- betapa pun dikerjakan dengan alasan kemanusiaan. Akibat keberatan berbagai pihak, Badan Sensor Film kemudian menahannya selama dua tahun hingga Perawan Desa (semula berjudul Balada Sumirab) gagal mengikuti Festival Film Indonesia 1979 di Palembang. Baru setelah 16 kali disensor, dan produser bersedia mengubah beberapa adegannya, ia lolos juga, dan berhasil nengantungi empat Citra di FFI 1980 Semarang. Jadi benarkah Perawan Desa dilarang? Hubungan Masyarakat Pemerintah Daerah Yogya meragukan kebenaran berita penerbitan SK Wakil Gubernur DIY itu. Pernyataan serupa juga dikemukakan Badan Pembinaan Perfilman Daerah (Bapfida). "Secara resmi kami belum pernah membicarakan Perawan Desa," kata Pratomo, staf Bapfida DIY . "Pengedar belum pernah menyodorkan film itu kepada kami." "Masuk akal," sambut Thomas Soegito. Ketua BSF, "bila benar Yogya melarang film itu beredar." Kenapa? Sekalipun sesungguhnya BSF sudal, memberinya Surat Tanda Lulus Sensor. Bapfida masih memiliki wewenang penuh untuk menerima atau menolak suatu film beredar di wilayahnya. "Dari kacamata kepentingan nasional film itu memang tidak apa-apa, tapi untuk daerah bisa lain soalnya," lanjut Thomas. "Mungkin saja Yogya menolak karena mempertimbangkan efek psikologis akibat pemutarannya kelak." Orang yang akan paling kecewa dengan berita tersebut adalah Bucuk Soehato, pimpinan PT Safari Sinar Sakti Film, produsernya. la begitu ingin agar filmnya diputar di Yogya, karena kisahnya bersumber dari suatu peristiwa yang terjadi di kota gudeg itu. Dari sini, ia mengharapkan pemasukan Rp 5 juta. Maka bila penolakan atas filmnya terjadi, Bucuk tidak akan menyerah begitu saja. Untuk menggolkan filmnya bisa beredar di Yogya, ia bertekad, "meminta bantuan semua instansi," katanya. Kalau Bucuk gagal, maka kebijaksanaan Bapfida Yogja, akan merupakan suatu publisitas ekstra buat film yang dibuat dengan biaya Rp 98 juta ini. Buat Sum Kuning yang sudah memulai hidup baru, agaknya ini juga akan mengurangi tekanan psikologis -- siapa tahu orang Yogya sudah melupakan tragedi itu. Sebab adalah Sum juga yang pernah menyatakan keberatan pengalaman pahit perjalanan hidupnya tadi difilmkan. Bahkan Sum sejak Perawan Desa dibuat hampir tiga tahun yang lalu sampai siap diedarkan, pernah berusaha menggugat sang produser. Tapi setelah mengingat kelak, perkara dan kesaksiannya di pengadilan akan membuka luka lama, sekitar dua bulan lalu kuasa itu dicabutnya -- dan Sum tidak akan mengajukan gugatan apapun. Safari Sinar Sakti Film boleh lega, meskipun Sum belum tentu. Rekaman pahit itu toh seolah terbeber kembali manakala orang menyebut Sum Kuning -- dan soal keadilan yang tak tuntas.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus