Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DENGAN memakai pakaian kerja yang dekil dan topi warna-warni di
kepalanya, apa yang dilakukan Hildawati Siddharta (33 tahun)
Minggu siang, 8 Oktober, terasa lucu. Ia seperti anak kecil
sedang main masak-masakan. Bata-bata ditata membentuk kotak
terbuka. Asap mengepul. Dan di dalam "kotak bata" itu tiga
keping benda putih sedang dimasak. Di bagian belakang Kompleks
Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta, dosen seni keramik itu
sedang melakukan pembakaran dengan serbuk gergaji -- untuk
memperoleh warna hitam kecoklatan di tempat yang direncanakan
pada tiga keping benda putih tadi.
Karya keramik memang punya dua unsur pokok: tanah liat dan
pembakaran. Kata Yunani keramos artinya tanah liat yang
dibakar). Dan dua unsur itu berhubungan erat. Jenis tanah liat
menentukan juga jenis pembakarannya. Soalnya ada tanah liat yang
hanya memerlukan pembakaran dengan suhu rendah (800-1000ø C), ada
pula yang memerlukan pembakaran tinggi (1300ø C).
Dengan demikian sebetulnya yang disebut keramik tak asing bagi
kita. Batu bata merah itu pun keramik-yang paling sederhana. Dan
dengan demikian pembakaran pun bisa dilakukan dengan sangat
sederhana: menimbuni calon keramik dengan jerami secukupnya,
lalu membakar jerami itu. Seperti yang dilakukan para pembuat
keramik Kasongan, Yogya atau yang lain.
Lawannya, kalau boleh dikatakan begitu, ialah porselin: mangkuk,
poci, piring dan sebagainya. Pembakaran dilakukan dengan tungku
dan ada yang dengan panas listrik atau hanya dengan bahan bakar
kayu atau solar. Yang pertama di atas termasuk pembakaran
rendah, yang kemudian ini pembakaran tinggi. Hasilnya memang
lain: yang pembakaran tinggi memang menghasilkan keramik yang
kuat, tak mudah pecah. Dan menawarkan warna-warni.
Dengan pembakaran tinggi keramik bisa diglasir: diberi warna
dengan melapisnya dengan zat-zat kimia. Soalnya, pembakaran
tinggi memungkinkan zat-zat kimia leleh, menyatu dengan
bendanya. Juga glasir ini menambah kekuatan keramik.
Tanah Liat Mesir
Tentu saja pada mulanya, dulu keramik primitif belum diglasir.
Untuk lebih mengawetkan, orang jaman itu lantas melapis keramik
mereka dengan lemak atau getah. Dan tentu saja glasir yang kini
bisa dicari di laboratorium, pada mulanya ditemukan secara
kebetulan. Seperti di Mesir dulu kala -- karena tanah liatnya
banyak mengandung zat warna biru, keramik yang dihasilkannya
kebanyakan berwarna biru. Lama-lama mereka tahu apa yang
menyebabkan biru itu, dan bisa menyempurnakannya.
Kemudian ada bermacam-macam pembakaran demi sempurnanya hasil
akhir. Ada pembakaran awal (bisque fired), ada pembakaran serbuk
gergaji, ada pembakaran raku. Pembakaran awal gunanya agar
keramik lebih kuat ketika diglasir. Dengan demikian tidak
kawatir bentuk akan sedikit penyok, misalnya. Pembakaran serbuk
gergaji untuk memperoleh warna hitam kecoklatan -- seperti yang
sudah diutarakan. Pembakaran raku untuk memperoleh efek-efek
tertentu. Misalnya warna yang tidak rata, permukaan yang kasar
dan sebagainya.
Dengan berbagai kemungkinan itu keramik memang berkembang
menjadi bukan hanya seni pakai. Dan orang tak keliru kalau lalu
membandingkannya dengan seni patung. Bedanya,"kalau pada keramik
tanah liat merupakan unsur pokok dan tetap tinggal menjiwai
karya, sedang pada patung tanah liat bisa dibuang," kata Hilda.
Memang, tanpa tanah liat tak akan ada keramik.
Hilda sendiri tertarik pada seni keramik mungkin karena "sejak
kecil suka sekali bermain-main tanah liat." Dan kemudian
"merupakan kenikmatan sendiri, menunggu apa yang akan dihasilkan
oleh suatu pembakaran," lanjutnya. Hampir seperti batik, dalam
soal pewarnaan (dan juga halus kasarnya permukaan) keramik tidak
sepenuhnya bisa "dikonsep". Tergantung panas pembakaran.
Kadang-kadang satu glasir bisa menghasilkan warna hijau, tapi
karena pembakaran yang "kurang sempurna" hanya menjadi hijau
muda.
Hilda menyelesaikan studi di Seni Rupa ITB jurusan keramik awal
tahun 70-an. Tahun 173-76 melanjutkan belajar seni keramik di
Amerika Serikat. "Baru di Amerikalah saya tahu benar apa itu
keramik," katanya. Dan apa itu keramik? Ia bercerita panjang.
Singkatnya, karya tanah liat yang dibakar yang lahir karena
keintiman dengan tanah liat itu sendiri. "Sikap kita terhadap
tanah liat, penting," katanya. Bukanlah dari bentuk kita
membikin keramik. Tapi dari sifat dan tabiat tanah liatlah lahir
bentuk-bentuk. Begitu tafsirannya.
Hasil memang bisa nampak sama, meski proses berbeda. Tapi proses
akan menentukan perkembangan selanjutnya. Itu mungkin
perbandingan antara patung dan seni keramik bebas.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo