Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teroka

Sebuah sikap terhadap tanah liat

Hildawati siddharta, 33, dosen lpkj mendemonstrasikan cara pembuatan keramik. pembakaran tanah liat pada suhu tinggi akan menghasilkan keramik yang kuat dan warna warni bila diberi zat kimia. (sr)

21 Oktober 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DENGAN memakai pakaian kerja yang dekil dan topi warna-warni di kepalanya, apa yang dilakukan Hildawati Siddharta (33 tahun) Minggu siang, 8 Oktober, terasa lucu. Ia seperti anak kecil sedang main masak-masakan. Bata-bata ditata membentuk kotak terbuka. Asap mengepul. Dan di dalam "kotak bata" itu tiga keping benda putih sedang dimasak. Di bagian belakang Kompleks Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta, dosen seni keramik itu sedang melakukan pembakaran dengan serbuk gergaji -- untuk memperoleh warna hitam kecoklatan di tempat yang direncanakan pada tiga keping benda putih tadi. Karya keramik memang punya dua unsur pokok: tanah liat dan pembakaran. Kata Yunani keramos artinya tanah liat yang dibakar). Dan dua unsur itu berhubungan erat. Jenis tanah liat menentukan juga jenis pembakarannya. Soalnya ada tanah liat yang hanya memerlukan pembakaran dengan suhu rendah (800-1000ø C), ada pula yang memerlukan pembakaran tinggi (1300ø C). Dengan demikian sebetulnya yang disebut keramik tak asing bagi kita. Batu bata merah itu pun keramik-yang paling sederhana. Dan dengan demikian pembakaran pun bisa dilakukan dengan sangat sederhana: menimbuni calon keramik dengan jerami secukupnya, lalu membakar jerami itu. Seperti yang dilakukan para pembuat keramik Kasongan, Yogya atau yang lain. Lawannya, kalau boleh dikatakan begitu, ialah porselin: mangkuk, poci, piring dan sebagainya. Pembakaran dilakukan dengan tungku dan ada yang dengan panas listrik atau hanya dengan bahan bakar kayu atau solar. Yang pertama di atas termasuk pembakaran rendah, yang kemudian ini pembakaran tinggi. Hasilnya memang lain: yang pembakaran tinggi memang menghasilkan keramik yang kuat, tak mudah pecah. Dan menawarkan warna-warni. Dengan pembakaran tinggi keramik bisa diglasir: diberi warna dengan melapisnya dengan zat-zat kimia. Soalnya, pembakaran tinggi memungkinkan zat-zat kimia leleh, menyatu dengan bendanya. Juga glasir ini menambah kekuatan keramik. Tanah Liat Mesir Tentu saja pada mulanya, dulu keramik primitif belum diglasir. Untuk lebih mengawetkan, orang jaman itu lantas melapis keramik mereka dengan lemak atau getah. Dan tentu saja glasir yang kini bisa dicari di laboratorium, pada mulanya ditemukan secara kebetulan. Seperti di Mesir dulu kala -- karena tanah liatnya banyak mengandung zat warna biru, keramik yang dihasilkannya kebanyakan berwarna biru. Lama-lama mereka tahu apa yang menyebabkan biru itu, dan bisa menyempurnakannya. Kemudian ada bermacam-macam pembakaran demi sempurnanya hasil akhir. Ada pembakaran awal (bisque fired), ada pembakaran serbuk gergaji, ada pembakaran raku. Pembakaran awal gunanya agar keramik lebih kuat ketika diglasir. Dengan demikian tidak kawatir bentuk akan sedikit penyok, misalnya. Pembakaran serbuk gergaji untuk memperoleh warna hitam kecoklatan -- seperti yang sudah diutarakan. Pembakaran raku untuk memperoleh efek-efek tertentu. Misalnya warna yang tidak rata, permukaan yang kasar dan sebagainya. Dengan berbagai kemungkinan itu keramik memang berkembang menjadi bukan hanya seni pakai. Dan orang tak keliru kalau lalu membandingkannya dengan seni patung. Bedanya,"kalau pada keramik tanah liat merupakan unsur pokok dan tetap tinggal menjiwai karya, sedang pada patung tanah liat bisa dibuang," kata Hilda. Memang, tanpa tanah liat tak akan ada keramik. Hilda sendiri tertarik pada seni keramik mungkin karena "sejak kecil suka sekali bermain-main tanah liat." Dan kemudian "merupakan kenikmatan sendiri, menunggu apa yang akan dihasilkan oleh suatu pembakaran," lanjutnya. Hampir seperti batik, dalam soal pewarnaan (dan juga halus kasarnya permukaan) keramik tidak sepenuhnya bisa "dikonsep". Tergantung panas pembakaran. Kadang-kadang satu glasir bisa menghasilkan warna hijau, tapi karena pembakaran yang "kurang sempurna" hanya menjadi hijau muda. Hilda menyelesaikan studi di Seni Rupa ITB jurusan keramik awal tahun 70-an. Tahun 173-76 melanjutkan belajar seni keramik di Amerika Serikat. "Baru di Amerikalah saya tahu benar apa itu keramik," katanya. Dan apa itu keramik? Ia bercerita panjang. Singkatnya, karya tanah liat yang dibakar yang lahir karena keintiman dengan tanah liat itu sendiri. "Sikap kita terhadap tanah liat, penting," katanya. Bukanlah dari bentuk kita membikin keramik. Tapi dari sifat dan tabiat tanah liatlah lahir bentuk-bentuk. Begitu tafsirannya. Hasil memang bisa nampak sama, meski proses berbeda. Tapi proses akan menentukan perkembangan selanjutnya. Itu mungkin perbandingan antara patung dan seni keramik bebas.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus