Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teroka

Tamu Tengah Malam

Cerpen Tamu Tengah Malam karya Ahmadun Yosi Herfanda.

5 September 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TAMU TENGAH MALAM

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ahmadun Yosi Herfanda

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ia datang hampir tengah malam dengan menggendong ransel besar berwarna hijau tentara. Ia kawan dekat yang pernah aktif di resimen mahasiswa, kemudian drop out pada semester keenam. Wajar kalau masih menyimpan aksesori berwarna hijau kebanggaan itu. Tapi, kini ia datang dari Suriah setelah tiga tahun tinggal di sana. Ia pulang ketika konflik bersenjata di negeri itu memanas dan teror ISIS merebak di mana-mana.

“Malam ini aku terpaksa numpang tidur di rumahmu. Besok pagi aku akan ke Surabaya. Aku tak punya uang untuk nginap di hotel. Boleh ya? Maaf kalau merepotkan,” katanya.

Aku tidak mungkin menolak, karena ia kawan karibku ketika SMA. Begitu tiba, kupersilakan masuk, dan kutunjukkan kamar untuknya, kamar kerjaku. Ranselnya besar sekali, hampir tak muat pintu kamar dilewatinya. Aku tak tahu apa isinya. Semoga saja bukan bom yang akan diledakkan besok pagi, dan meledak lebih dulu di kamar kerjaku. Ya, bisa saja itu terjadi. Dia teledor dan “Booom!” …. Bom itu benar-benar meledak dalam kamarku, ranselnya hancur, serpihannya memorak-porandakan isi kamar, menembus dinding, melukai istriku yang sedang hamil di kamar sebelah.

“Alman… ranselmu apa isinya? Bukan bom, kan!” Aku bertanya dengan sedikit berteriak dari luar kamar, di dekat pintu.

“Ah… bukan! Memangnya saya teroris? Ini cuma pakaian dan perbekalan perjalanan!” Dia menjawab keras, seperti merasa dicurigai.

“Ya, syukurlah.”

Terdengar seperti logam diletakkan di meja di kamar kerjaku, cukup keras. Jangan-jangan dia mengeluarkan bom dari ranselnya dan meletakkannya di meja. Atau alat-alat perakit bom. Aku jadi ingat, kamar kerjaku berisi dokumen-dokumen penting yang kukumpulkan bertahun-tahun. Ada puluhan cerpen, ratusan puisi, dan puluhan esai. Bahkan ada naskah novel yang hampir selesai. Kalau dia benar-benar membawa bom, dan meledak di kamarku, pasti hancurlah komputerku, hancurlah semua naskahku. Tapi tak ada pilihan lain. Aku tak punya kamar lagi. Kalau ada tamu menginap, selalu kusuruh tidur di kamar kerjaku.

“Duk duk duk… cling… tang tang tang,” terdengar suara aneh dari kamar kerjaku. Seperti logam beradu. Aku makin khawatir. Jangan-jangan dia benar-benar teroris. Kemarin ada berita di televisi, dua teroris ditangkap, satu ditembak mati karena mencoba melawan Densus 88. Mereka alumni Suriah. Jaringannya sedang diselidiki. Mudah-mudahan bukan termasuk Alman.

“Alman… kau sudah makan belum?”

“Sudah. Tadi sempat mampir warung padang!”

“Kalau mau mandi silakan!”

“Ya sebentar.”

Aku kembali duduk di ruang tamu. Ingin sekali kuperiksa ranselnya saat dia mandi nanti, barangkali benar dia membawa bom rakitan atau peralatan untuk merakit bom. Tapi, apakah sepantasnya aku menggeledah ranselnya? Bagaimana kalau dia tahu? Bisa runyam urusannya. Lalu, bagaimana kalau dia benar-benar teroris dan isi tasnya benar-benar bom?

Jangan-jangan dia sudah lama meninggalkan Suriah, dan tinggal di suatu tempat di sekitar Jakarta, mungkin di Pamulang, Ciputat, Bekasi, Bogor, atau Tangerang, lalu meninggalkan kontrakannya karena ada rencana teror, atau khawatir keberadaannya tercium Densus 88. Aku teringat lagi ransel hijau tentaranya. Aku berdiri dan siap-siap masuk kamar untuk menggeledahnya, namun tiba-tiba dia sudah berdiri di belakangku, membuatku agak kaget.

“Sudah mandi?” tanyaku sambil memutar tubuh ke arahnya.

Alman tidak menjawab. Hanya menyeringai. Terasa ada yang misterius pada seringainya yang tidak selesai. Kupandangi matanya yang kuyu dan cekung seperti kurang tidur, rambutnya yang agak gondrong tergerai menyentuh pundak, kumisnya yang tebal, dan janggutnya yang dibiarkan tumbuh tidak teratur. Lalu tubuhnya yang agak kurus tinggi. Kubayangkan dia melempar bom ke kerumunan orang di gereja, masjid, atau mal. Atau, dia memasang bom di tubuhnya, dan meledakkan diri. “Booom!” Oh, tidak. Aku mengusir bayangan itu.

“Besok ke Surabaya jam berapa? Naik apa?” tanyaku setelah Alman kupersilakan duduk di kursi tamu di seberangku.

“Pagi. Sehabis salat subuh. Mau mampir Tasikmalaya. Dari Lebak Bulus banyak bus ke Tasik, kan. Ada kawan sesama alumni Suriah yang harus kutemui.”

“Alumni Suriah?” Aku minta penegasan.

“Ya, alumni Suriah. Memangnya kenapa kalau alumni Suriah?”

Aku tak bisa menjawab, hanya makin curiga, jangan-jangan betul kawanku ini teroris. Jaringannya mengurat dari Lampung, Tangerang, Tasikmalaya, Cirebon, Pekalongan, Solo, Surabaya. Mungkin saja Alman datang dari Lampung. Naik bus, turun di pintu tol Kebon Nanas, dan jalan kaki ke rumahku. Pantas saja tampak lelah, kumal, dan belum mandi.

Alman mengalihkan pembicaraan ke masa lalu, tentang sebab-sebab dia meninggalkan bangku kuliah dan pergi ke Suriah, “Mencari pengalaman baru yang menantang. Apalagi di sana sedang terjadi konflik. Hitung-hitung mempraktikkan latihan kemiliteranku,” ceritanya. “Pertama aku datang ke Turki dulu. Turki benar-benar negeri yang indah dan menyimpan banyak peninggalan sejarah masa kejayaan Islam…. Kau harus menyempatkan berkunjung ke sana, Sobari.”

Aku agak terpana. Terkagum menyimak pengalamannya.

“Pernah aku hampir mati terkena serpihan bom di pinggang. Ini… lihat ini,” katanya sambil memperlihatkan bekas jahitan di pinggangnya. “Ini dijahit di rumah sakit militer. Di Suriah. Untung tidak tembus ke ususku.”

Malam itu hanya sekitar 30 menit kami saling berbagi cerita. Kulihat dia sangat lelah dan mengantuk. Berkali-kali dia menguap. Lantas kupersilakan tidur.

                                               ***

 

Malam merambat begitu lambat. Istri yang sudah tidur terpaksa kubangunkan pelan-pelan. Kusampaikan padanya, kawanku yang tadi mau menginap sudah di kamar. Sengaja tak kuceritakan kekhawatiranku, karena istriku gampang panik. Siapa tahu, tiba-tiba dia berteriak, “ADA TERORIS!” Bisa kacau suasana rumah.

Aku berusaha memejamkan mata di sebelah istriku, setelah lebih dulu mengelus perut istri yang hamil enam bulan. Anak pertama yang kami tunggu selama lima tahun setelah pernikahan. Baru sekitar 10 menit mataku memejam, tiba-tiba HP-ku berdering.

“Apakah di rumah Bapak ada tamu bernama Alman. Atau Abu Sofyan Arroisi alias Alman Sanusi. Orangnya kurus tinggi. Rambut agak gondrong dan berjambang. Dia bawa ransel besar warna hijau tentara.”

Aku tahu, yang dimaksud adalah Alman. Tapi aku tidak langsung menjawab.

“Halo, Pak, hati-hati. Alman atau Abu Sofyan itu teroris. Kami telah menguntitnya dari Lampung. Dia bawa bom. Jangan sampai melindungi dia, Pak. Rumah Bapak sudah kami kepung.”

Bagai disambar petir aku mendengar penjelasan penelepon yang mengaku Densus 88 itu, yang entah dari mana mendapat nomor ponselku. Benar dugaanku, Alman teroris dan membawa bom. Aku agak panik. Bagaimana kalau aparat salah tembak. Bagaimana kalau salah sasaran. Bagaimana kalau peluru aparat mengenai istriku. Bagaimana dengan kandungannya. Bagaimana kalau bom dia ledakkan, dan ledakannya menembus kamar istriku?

“Halo… halo, Pak.”

“Ya, halo….”

“Dia tidur di kamar sebelah, Pak. Tolong… hati-hati, istriku sedang hamil. Jangan sampai kami jadi korban. Kami tidak tahu apa-apa tentang ini semua….”

Tidak ada jawaban dari seberang. Tidak ada telepon balik. HP-ku tiba-tiba juga mati. Low batt. Sialan. Aku makin panik saja. Kuraih HP istriku di atas meja, bermaksud menelepon balik aparat yang tadi menelepon. HP-ku cepat-cepat kucas dengan kabel yang ada di meja, berharap bisa melihat nomor HP aparat. Istriku terbangun.

“Ada apa, Mas? Mau menelepon siapa, malam-malam begini.”

Aku agak geragapan. Tak menyangka kalau istri akan bertanya begitu. “Ssssttt.” Aku mendekati istriku. Kudekatkan mulutku ke telinganya. “Kawanku itu, Alman, dicari polisi. Dia buron.” Aku berbisik ke telinganya.

“Apa? Buron?!”

“Ssssst. Jangan keras-keras…. Cepat turun ke sini.” Istriku kusuruh turun dari ranjang. “Kita duduk di sini. Di lantai.” Kuseret istriku ke lantai yang paling jauh jaraknya dari kamar sebelah, dan kuajak duduk, siap kuajak tiarap kalau terjadi sesuatu.

“Ada apa sih, Mas,” tanya istriku heran.

“Alman bawa bom.”

“Bawa bom? Dia teroris?”

“Jangan keras-keras. Nanti dia terbangun.”

Istriku kaget dan di bawah cahaya listrik 25 watt kulihat wajah istriku pucat dan panik. Aku mengambil HP yang kucas tadi. Baru terisi 10 persen. Kupaksa kunyalakan. Kucari kontak terakhir dengan aparat. Untung Alman sepertinya tidak terbangun. Tak ada tanda-tanda yang mencurigakan dari kamar sebelah. Mungkin kelelahan dan tidur nyenyak.

“Halo, Pak. Ini Sobari. Bagaimana perkembangan situasinya?” segera kukontak aparat. Untung langsung tersambung.

“Ya, halo…. Kami masih mengepung rumah Bapak. Belum ada tanda-tanda yang mencurigakan.”

“Sepertinya dia masih tidur nyenyak, kelelahan.”

“Tolong jelaskan posisi kamarnya di mana. Agar kami tidak salah tangkap.”

“Rumah ini punya dua kamar, Pak. Kiri dan kanan. Alman di kamar sebelah kiri.”

“Oke. Tolong bukakan pintu depan. Agar tidak gaduh. Ajak istrimu ke luar rumah pelan-pelan. Jangan mengeluarkan suara apa pun. Ada anak-anak?”

“Tidak. Kami hanya berdua, saya dan istri.”

Kuraih lengan istriku. Aku membuka pintu kamar dengan hati-hati. Kami melangkah tanpa mengeluarkan suara. Kubuka pintu depan. Dua aparat dengan rompi antipeluru menyongsong kami. Kutunjukkan kamar Alman dengan jari telunjukku. Lalu kami berlari menjauh. Menunggu apa yang akan dilakukan aparat Densus 88 untuk meringkus Alman, kawanku yang diduga teroris itu. Dan, “booom!”, sebuah bom tiba-tiba meledak di dalam rumahku. Kulihat, dalam keremangan malam, asap putihnya membubung ke udara. ***

 

 

 

AHMADUN YOSI HERFANDA lahir di Kaliwungu, 17 Januari 1958. Mantan redaktur Republika dan ketua komite sastra DKJ. Menulis cerpen, puisi, dan esai sastra. Buku kumpulan sajaknya yang telah terbit antara lain Sembahyang Rumputan (1996), Ciuman Pertama untuk Tuhan (2008), dan Ketika Rumputan Bertemu Tuhan (2016). Buku kumpulan cerpennya yang telah terbit antara lain Sebelum Tertawa Dilarang (1997), Sebutir Kepala dan Seekor Kucing (2004), dan Badai Laut Biru (2004). Kini mengajar di UMN Serpong dan sebagai pemred portal sastra LITERA (www.litera.co.id).

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus